Senin, 16 Juni 2014

Sesuatu Yang Tak Wajar Datang Ke Arah Ku (part 6)

Aku adalah aku. Bukanlah orang lain, melainkan diriku yang penuh dengan masalah. Hari dimana aku memulai seperti biasanya dan orang-orang memulai beraktifitas. Bangun pagi-pagi untuk memberi kabar kepada dunia. Dengan ditemani rasa kantuk yang masih ada dan hawa dingin yang menusuk-nusuk tulang rusukku di pagi hari. Aku bergegas mencari rezeki untuk diriku dan juga keluargaku. Berita cuaca mengatakan hari ini akan hujan di siang hari sedangkan saat pagi ini awan mulai berkumpul dilangit dan munutup cahaya matahari yang menyinari bumi menjadi gelap. Aku dapat jadwal mengajar pada jam 11 pagi. Setelah aku pergi mengantar koran, aku lanjutkan mengajarku di kampus. tepat jam 11 aku masuk dan kami belajar dengan fokus. Aku menerangkan arti dari Kinematika. Kinematika adalah ilmu yang mempelajari pergerakan dari suatu benda dan sistem, tanpa mempedulikan gaya yang menyebabkan pergerakan itu. Osilasi dari piston dalam mesin adalah salah satu contoh sistem kinematika sederhana. Para insinyur teknik mesin menggunakan teknik kinematika untuk mendesain dan menganalisis mekanisme. Saat aku mengajar aku mencoba melihat ke arah para mahasiswa, bagaimana reaksi mereka disaat aku mengajar. Tanpa disengaja aku lihat Kiantira duduk di atas dua dari belakang pojok kanan. Dia melambaikan tangan ke arahku dan aku terdiam. Aku hanya tersenyum melihatnya. Aku menerangkan dengan gaya Albert Einstein dan memberikan kata mutiara kepada para mahasiswa saat bel berbunyi, yaitu "Orang yang tidak melakukan kesalahan adalah orang yang tidak pernah mencoba hal yang baru". 

Seusai pelajaran Kian menghampiri aku. "Metode mengajarmu tidak berubah Vil. Selalu seperti biasanya" Kata Kian. "Ya mau gimana lagi Kian. Itu metode mengajarku. Tumben kamu ikut pelajaranku. biasanya nggak pernah." Tanya ku ke Kian. "Iya, Habisnya aku lagi nggak ada kerjaan di pabrik, jadi ya aku mampir kesini, sekalian mau lihat bu Stella" Kian malu-malu. Kian bukanlah mahasiswa di universitas ini. Biasanya Kian kalau ada perlu dia ikut pelajaran saat aku mengajar. Ternyata dia ingin mau bertemu dengan bu Stella. "Apa kamu ingin bertemu dengan bu Stella, Kian?" Tanya ku. "Emm... Nggak usah, mau lihat aja. hehe." tawanya. Kami pergi ke cafetaira untuk makan siang. Kami memesan makanan ringan. Roti isi 2, kentang goreng, dan dua gelas es susu. Perutku sudah mulai lapar. Aku makan terlebih dahulu dari si Kian. Saat aku mulai membuka mulut dan memulai makan roti isi, tiba-tiba dosen Stella mengagetkan aku dari belakang. "Villa... Pelan-pelan makannya" Dengan nada gemes dosen Stella mengagetkanku. "Ah... Bu Stella. Jangan mengagetkan gitu dong bu. Ntar aku makan keselek lagi." Kataku dengan sedikit kecewa. "Haha... iya maaf Vil, maaf. Aku boleh gabung ga?" Tanyanya sambil menoleh ke arahku dan Kian. "Boleh aja, kami juga ga sibuk. Iya kan Kian?" Kataku sambil tanya ke Kian. "Iii.. iya, nggak apa-apa kok. silahkan aja" Jawab Kian sambil melamun ke arah bu Stella. "Ok lah. aku duduk." Kata Stella sambil duduk. Aku liat menu Bu Stella hari ini adalah menu diet. Hanya sayur-sayuran dan buah-buahan. "Bu Stella, apa ibu diet hari ini?" Tanya ku. "Oh... iya. hari ini aku diet. Aku mau buat tubuhku ideal." Kata Stella. "Oh ya, jangan panggil ibu dong Vil, aku merasa sudah tua kalau di panggil ibu.". "Emm... biar sopan sih. Tapi ya kalau maunya bu, eh... Stella ya sudah. oh ya, ini Kian... Ibu sudah kenal?". "Oh, namaku Stella.". "oh ya, namaku Kiantira, panggil saja Kian". Merekapun berjabat tangan sebagai tanda perkenalan. "Tunggu, kamu yang sering berpergian sama Villa itu kan." selidik Stella. "Ii... iya, aku sering bersama dengan Villa, soalnya teman dekatnya cuma aku." Kata Kian. "Oh... teman dekatnya Villa." Kata Stella. "Iya, dia teman dekat ku dari kecil." Jawabku. Kami berbincang-bincang. Kian akhirnya bisa banyak mengobrol dengan Stella. Aku hanya bisa tersenyum melihatnya. 
Waktu terus berjalan, dosen Stella pamit untuk masuk mengajar. Aku dan Villa pergi ke cafetaria dan mampir ke perpustakaan. Kami mencari buku bacaan yang bisa menginspiriasi diriku. Aku membaca buku karya Khaled Hosseini. Bercerita tentang Amir, Seorang anak laki-laki dari distrik Wazir Akbar Khan dan sahabatnya Hassan. putra seorang pelayan Hazzara di rumahnya. Cerita berkisar seputar kekisruhan situasi pemerintahan di afghanistan dalam invasi uni soviet serta munculnya rezim teroris di afghanistan. Cerita yang sangat menyentuh dan sangat menginspirasi. Aku menoleh pandangan ke arah Kian, dia sedang asik mebaca buku yang di pegangnya.  Pada saat ku lihat-lihat tumpukan buku yang ada didepanku. Aku nggak sengaja melihat biodata mahasiswa disini 2 tahun yang lalu. Aku penasaran dan membuka buku itu dan melihat tumpukan foto-foto dari alumni. Tanpa sengaja aku melihat biodata dari Stella. Ternyata dia juga pernah kuliah disini di jurusan Sastra.
Aku panggil Kian dan dia menghampiriku. Aku beri dia fotonya, dan dia kaget melihat Stella yang masih muda dan cantik. Kian sangat gembira dan menyimpan foto itu secara diam-diam. Aku hanya bisa tersenyum melihat tingkahnya. 
Setelah dua jam di perpustakaan, kami pergi ke toko 'Drawing. saat aku ke perpustakaan aku meminjam buku karya Khaled Hosseini dan buku ilmu teknik mesin. Sesampai di toko 'Drawing Kian langsung pergi mencari apa yang di butuhkannya, sedangkan aku menunggu di luar karena yang kubutuhkan sudah ada. Tak lama kemudian Kian keluar dengan tergesa-gesa. Kliingg, "Hos hos... Ayo lari Vil, lari." Kian lelah dan menyuruhku lari. "hah... ada apa Kian?" Tanyaku. "ayo sudah lari.". Kami pun lari dan menjauh dari toko 'Drawing. "Woii,,, Kalian sialan. Merusak daganganku saja" Pemilik toko berhambur keluar. Aku dan Kian lari sekencangnya. "hos hos... Kenapa kita lari Kian. ada apa?" tanyaku sambil berlari di samping Kian. "hos... nanti aja ku jelaskan" Katanya Kian sambil terengah-engah. Setelah rasa kami sudah jauh dari toko 'Drawing, kami berhenti di taman dekat rumah Stella. "Ada apa Kian?" aku mulai bertanya lagi sambil mengambil nafas dalam-dalam. "Tadi aku tidak sengaja menumpahkan tinta di kertas kanvas putih di situ. Pas mau buka, penutupnya macet. Aku paksa dan akhirnya ya seperti itu. Tumpahannya banyak Vil, aku bingung. Kamu tau kan pemilik toko itu galak. Jadi ya aku langsung kabur. hehe... maaf ya" Kian menjelaskan penyebabnya sambil terkekeh. "hah... kamu tuh. Nanti ya kita nggak bisa beli barang disitu lagi Vil." Kataku sambil kecewa. "Tenang aja Vil, ntar aku minta maaf sama pemiliknya. Aku nggak bisa juga kalau mau melukis atau kekurangan nggak beli disitu. Pasti lah, toko mana lagi yang murah meriah selain disitu." Katanya sambil tersenyum. Aku hanya bisa menghela nafas aja. "Ya sudah kalau gitu. Yang menting minta maaf aja nanti" kataku sedikit lega. Tak lama kemudian Stella lewat di depan kami dan melihat kami sedang duduk penuh dengan keringat. "Loh, Kalian kenapa sampai berkeringat dan kalian sedang apa?" Tanyanya kaget melihat kami berkeringat. Aku menjelaskan bahwa aku tadi berolahraga dengan Kian sebentar, yah walau berbohong sedikit. Stella menanyai kami sehabis ini ada kegiatan apa. Kami bilang kami mau melukis di bukit sore nanti. Stella ingin bergabung dengan kita, dia juga ingin mengambil foto di area bukit. Stella bergegas ke rumah dan mengganti pakaian santainya. Setelah Stella berganti pakaian, kami pergi ke bukit hutan. Sebelum sampai ketujuan, Kami mampir kerumah Kian, lalu kami pergi ke rumahku untuk mengambil peralatan melukis. Stella baru pertama kali kerumah Kian dan juga baru pertama kali kerumahku. Dan kamipun pergi ke bukit. Disaat perjalanan Kian disampingku terlihat bahagia, karena Stella yang mungkin gadis impiannya ikut serta dalam kegiatan kami. Udara yang segar, angin yang sepoi-sepoi membuat kami tambah semangat. Aku dan Kian membuka peralatan melukis kita. Sedangkan Stella menyiapkan kameranya. "Vil, aku foto disebelah sana ya?" Kata Stella ke aku. "Iya, yang penting jangan sampai hilang ya" Candaku sambil tersenyum. Stella juga ikut tersenyum. "Iya". Aku dan Kian mencoba melukis. "Vil, enak kamu ya. Dekat sama Stella." Kata Kian menyelidiki. "Iya hanya teman aja Kian, nggak lebih" Jawabku. "Oh". Kami melanjutkan menggambar. Tema ku dengan orang-orang disekitar taman, sedangkan Kian bertema kan Stella yang sedang mengambil foto objeknya. Saat kami melukis, tiba-tiba ada orang yang memanggil kita dari arah samping kita. "Villa, Kian. Kalian sedang melukis apa?" Orang itu bertanya. Kami menoleh bersamaan kearah asal suara itu dan terkaget melihatnya. "Ka... kakaknya Via. Sedang apa disini?" kataku terbata-bata.
"Kami sedang jalan-jalan aja. Kami bosan dirumah." Jawab kakak Via. "Oh... Kami? Berarti Via ikut juga" Kataku selidik. "Iya, itu Via. Viaa... ini ada Villa dan Kian.". "Selamat sore kak Villa dan Kak Kian" Kata Via dengan suara lembutnya. "Se... selamat Sore Via" Jawabku. Ya tuhan, Via tambah cantik dengan gaun dress warna coklat ke merah-merahan. Rambutnya terurai gelombang. Apakah ini jodoh?
"Vil, Itu siapa?" Kata Stella tiba-tiba mendekat ke arah ku.



To be continued...  




Sabtu, 31 Mei 2014

Sesuatu Yang Tak Wajar Datang Ke Arah Ku (Part 5)

Semua tertegun dan terdiam dalam lamunan suara dentingan angin malam. Nampak bintang-bintang di langit berkumpul dalam satu periode untuk menerangi alam. Binatang malam keluar mencari makan untuk kelangsungan hidup keluarganya. Suara serangga malam saling bersahut-sahutan dengan merdunya.


Kami pulang dengan di iringi cahaya sinar bulan. Aku dan Kian berjalan menuju rumah masing-masing tanpa ada sepatah kata diperjalanan pulang. Kami berpisah di saat jalan dengan simpang tiga depan toko sepatu. "Kian, terima kasih ya sudah menemaniku, maaf ya sampai selarut ini kita baru pulang." Kataku sambil tersenyum ke Kian. "Iya Vil. Tak apa. Kita kan juga sudah biasa pulang agak malam seperti ini."Jawab Kian. "Ok Kian, hati-hati ya. Sampai ketemu lagi besok.". "Iya Vil, kamu juga hati-hati.". Kian pun pergi ke arah berlawanan pulang. Aku menuju rumah ku dengan ditemani oleh kesunyian dan lampu jalan kota. Kulihat satu persatu toko sudah mulai tutup. Kulewati berbagai macam toko, penginapan, dan restoran yang ada di kota ini. Sangat terang dengan desain arsitektur yang indah dan hiasan-hiasan lampu yang cantik tertata rapi pada malam hari. Hanya pada malam hari saja kota ini sangat terang dan indah. 


Saat ku lewati restoran "D'mezort", restoran yang paling terkenal di kota ini. Aku melihat ada seorang wanita yang di usir dari restoran tersebut sambil mabuk. "Pergi, kami mau tutup." Sambil marah orang itu dan menutup pintu. "Ahh..., aku hanya ingin minum di dalam." Teriak wanita itu sambil menangis. aku terdiam dan kaget melihat wanita itu yang terduduk di depan pintu yang nggak jauh dari arah ku. Ternyata dia adalah dosen Stella, satu pekerjaan di Universitas tempat ku kerja. Aku menghampirinya sambil mengangkatnya dia berdiri. "Stella, ada apa denganmu? sampai kamu mabuk?" Tanya ku. "Oh..., ternyata kamu Villa. Pria yang paling cerdas dan pintar." Kata Stella sambil mabuk. "Ayo kita pulang. Tidak baik kalau kamu belum pulang jam segini.". Dia sangat mabuk berat. Jalan pun dia tidak bisa. Tanpa basa-basi, aku menggendong Stella sampai kerumahnya. Dalam perjalanan Stella berbicara tidak jelas dan aku hanya bisa mendengarkan. "aku bingung sama pelayan tadi, aku hanya ingin duduk sambil minum kenapa aku di usir. padahal aku kan bayar." kata Stella dengan manjanya sambil memelukku dibelakang. "Mungkin karena restorannya sudah tutup, kamu masih aja disitu. pekerja disana sudah mau pulang, jadinya ya kamu di usir." Jawabku. "Tapi kan nggak gitu juga. Sampai di usir.". "hhh... memang kenapa sih kamu sampai mabuk gitu. Biasanya kamu nggak pernah seperti ini." Aku bertanya ke Stella. "Hiks... Aku bingung soal perjodohan Ku Vil, kamu tau aku kan. Setiap waktu aku di jodohkan oleh Orangtua ku. Tapi aku nggak mau dan nggak tau asal-usul orang yang di jodohkan itu. Entah dia baik sama aku tapi dengan Keluargaku tidak. Entah dia orang kaya, tapi tidak ada hati yang baik. Kan percuma Vil. Aku maunya yang sederhana dan akupun apa adanya dengan dia. Asal dia mau apa adanya denganku. lagian kamu tau kan umur ku berapa?". "emm... Tau.". Dalam hatiku yang terdalam, sebenarnya aku nggak tau umurnya Stella berapa. "Nah... umur ku sudah 27 tahun, dan sekarang belum ada pasangan yang cocok denganku." Kata Stella sambil menangis. Aku bingung mau bicara apa dengan dia. Hanya diam dan keheningan dalam perjalanan.

Tak terasa kami  sudah dekat dengan rumah Stella yang hanya jarak 10 meter dari arah kami jalan. Tiba-tiba Stella minta aku berhenti. "Ada apa Stell, itu rumahmu kan. sudah dekat kok." Kataku bingung. "Aku nggak mau pulang. Bisa kah kamu temanin aku ngobrol dulu ditaman?" Kata Stella sambil memegang tanganku. "Emm... Kamu wanita Stella. Nggak baik kalau kamu masih ada diluar selarut malam seperti ini.". "Tapi kan, ada kamu kalau aku terjadi apa-apa." Jawabnya sambil senyum manja ke arahku. Dengan wajahnya yang polos aku pun tersipu malu saat dia memberikan senyuman ke arahku. Wajah yang cantik dan menawan. Aku tidak bisa menolak apa keinginan dari wanita. "Emm... baiklah. Tapi sebentar aja ya. Karena ini sudah larut malam." Kataku. "Ok." Stella tersenyum. Kami pergi ke taman yang tidak jauh dari rumah Stella. Kulihat ada kursi memanjang yang terbuat dari kayu berada di depan kita. Aku menawarkan Stella untuk duduk dan bercerita di kursi itu. Kami duduk bersamaan. Angin malam mulai dingin. Untung di saat aku pergi, aku memakai jaket. Aku buka dan kuberikan ke Stella agar dia tidak kedinginan. "Makasih Vil." Kata Stella. "Iya." Jawabku. Beberapa saat kami terdiam. Kami duduk sangat dekat. Stella kadang mencari waktu dengan memandangku, tapi aku hanya bisa terdiam seakan tidak tahu. Walau malam dengan cuaca dingin, Keringat di tubuhku seakan keluar dengan ditemani oleh kegugupanku. Tiba-tiba Stella memulai percakapan. "Vil, Tadi kamu dari mana. Sampai larut malam gini masih di kota?" Tanya Stella. "Oh, A.. Aku dari rumah teman. Ada yang mau di urus." Jawab ku."Oh." Balasnya. Entah kenapa tiba-tiba aku gugup. Aku mencoba menarik nafas untuk bisa menenangkan hatiku. "Soal yang dijodohkan itu. Apa kamu sudah bilang ke Orangtua mu kalau kamu nggak suka di jodohkan?" Tanyaku dengan lancar. "Sudah Vil, tapi kamu tau lah orangtua seperti apa. Maunya kata-kata mereka harus di turuti. Lah aku tau semua orang-orang yang dijodohkan dengan aku seperti apa. Anak pengusaha dan orang kaya. Meskipun aku anak orang yang berada dan anak satu-satunya". "Oh..., Makannya kamu nggak mau di jodohkan.". "Iya Vil. Dirumah aku sangat tertekan. Selalu aja seperti itu.". Tiba-tiba aku melihat Stella meneteskan air mata. Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku tidak tahu cara menghibur hati wanita. Aku meihat baju dengan lengan panjang yang ku kenakan ini. Aku husap air mata Stella dengan ujung lengan baju ku. Dia terus terhisak-hisak. Dan aku terus menghusap air mata yang jatuh dari mata Stella. Aku terkaget saat dia menoleh ke arahku. Aku tertegun liat wajahnya yang rupawan. Dengan mata berkaca-kaca dan penuh sendu, Stella berkata perlahan. "Vil, kamu mau bawa aku pergi dari rumah?". Aku tersentak kaget mendengar Stella berkata seperti itu denganku. Apa dia sangat depresi hingga dia bisa berbicara seperti itu?. Aku bingung dibuatnya. "Emm... Aku tidak tahu harus ngomong apa." Kataku sambil menoleh ke kanan dan ke kiri. "Cukup bawa aku keluar dari rumahku." Jawabnya sambil memandangku. "Eem... Gimana ya." Aku bingung sambil memandang kedepan. Stella Tersenyum melihatku. "Lupakan Villa, Aku hanya bercanda." Katanya sambil tersenyum dengan manis. Aku pun dibuat malu olehnya. Aku hanya bisa diam dan diam. Kami berbincang cukup lama. Memang, Stella wanita yang manis dan anggun. Stella lahir dari keluarga yang berada. Anak Satu-satunya dari keluarga tuan Braham Gin. Pengusaha dari pabrik plastik yang ada di kota ini. Stella sedikit mempunyai teman. Keluarganya ingin ada penerus dalam melanjutkan usaha dari keluarga Braham. Maka dari itu, keluarganya ingin menjodohkannya kepada pemuda pilihan orangtuanya. Tapi bagiku, Stella hanya teman bukan lebih dari itu. Dihatiku hanya ada seorang gadis yang bernama Via, bukanlah Stella. 
Waktu terus berjalan. "Mari, kita pulang. Aku sudah mulai ngantuk... hhooam." Kata Stella sambil beranjak berdiri. "Ayo, lagian sudah terlalu larut. Ga baik buatmu." Jawabku sambil berjalan terlebih dahulu. Kami meninggalkan taman. "Sebenarnya tadi serius Villa." Bisik Stella agak jauh di belakangku. "Hah, ada apa Stella?" Tanya ku sambil menoleh ke arahnya. "Tidak, tidak apa. Aku hanya bergumam.". "Oh... ya sudah.". Kami tiba di depan rumah Stella. Sebelum aku pergi, stella berterima kasih dengan ku sekali lagi karena telah menghibur dan menemaninya hingga pulang. Aku pun pamit pergi meninggalkan rumahnya. Dia melambaikan tangannya saat aku pergi jauh meninggalkannya. Aku bergegas pulang menuju rumah. 

Sesampai dirumah, keluargaku sudah tidur semua. Aku melangkah ke arah kamar ku dan menghempaskan tubuhku di kasur yang lembut itu. "hah... Hari yang melelahkan." Gumamku sendiri. perjalanan yang menyita banyak waktu. Saat dari rumah Via, hingga mengantar Stella pulang. Aku tahu apa yang dikatakan oleh stella saat setelah dari taman. Dan aku hanya berpura tidak tahu agar tidak menambah masalah yang ada. Semua hanya terlintas cepat begitu saja di depanku. Aku juga mengingat saat sebelum aku pulang dari rumah Via. Ternyata, yang menyebabkan Via tidak bisa melihat disebabkan kecelakaan waktu itu. Yang membuat dia buta. Aku hanya bisa merasakan betapa sengsaranya dia. Tidak bisa menikmati lagi keindahan alam yang di ciptakan oleh tuhan. Aku merasa iba dengannya. Aku ingin membuat dia bahagia walau hanya sebentar saja.
Oh tuhan, apa yang harus aku lakukan dengan mereka?      
   


 To be continued...


     

Selasa, 27 Mei 2014

Sesuatu Yang Tak Wajar Datang Ke Arah Ku (Part 4)



Greenharp, Itulah nama kota ini. Green yang berarti "hijau", sedangkan Harp diambil dari nama seseorang, yaitu "Erwin Harpin". Dialah yang membuat motto 'Think Outside' dan menjadikan kota ini bersih dan asri. Sekaligus walikota pertama di Greenharp. Kota kecil yang aku tinggali dari kecil hingga dewasa. Terkenal dengan kehijauannya. Kota yang tenang dan damai. Walau populasinya sedikit, kota ini cukup terkenal di negeri ini. Rata-rata orang berpergian menggunakan sepeda, bahkan dengan berjalan kaki sekalipun. Jarang orang menggunakan kendaraan berasap, karena udara disini sangat sejuk dan bersih. Aku sudah cukup hafal daerah-daerah yang sepi hingga ramai. Salah satunya taman di balik bukit itu yang termasuk wisata cukup ramai apabila dihari libur. Masyarakat di kota ini juga ramah dan baik. Bahkan tidak ada satu berita yang mengenai tindak kriminal di kota ini. Sebab orang tua sudah mengajarkan kepada anak-anaknya sejak kecil untuk berbuat jujur. Pria disini sangat tampan-tampan, dan gadis-gadis disini juga sangat cantik dan manis. Termasuk gadis yang bernama Via. Gadis yang cantik dan menawan hatiku. Pertemuan yang singkat saat di sebuah toko lukis. 
 Aku sudah terpana melihat gadis yang bernama Via itu sejak pertama kali kulihat. Anggun dan cantik, tidak ada gadis yang bikin aku jatuh cinta selain dia. Entah kenapa, aku penasaran dengan Via hingga ku hampiri rumahnya bersama dengan Kian sahabatku. 

Aku masih terdiam dan terpana melihat dia membukakan pintu dengan senyuman yang menawan. "Kakak?!" Tanya Via. Aku masih tidak mampu untuk membuka mulutku. Aku mencoba untuk membukanya, "Aa... !" Jegleekk!!. Suaraku terputus dengan adanya suara pintu tertutup. Via menutup pintu dengan keras. "Aaa... ah!". Aku kecewa tidak bisa bicara  dengan lancar karena gadis itu membuatku jadi gugup. Disamping ku, Kian membisu seribu bahasa karena baru pertama kali melihat sosok malaikat yang cantik seperti Via. "Vil, itu gadis yang kamu sebut kah?. Cantik Vil, pantas kamu tertarik sama dia." Kata Kian sambil menyikutku. "Emm... iya. Itu yang namanya Via. udah tau kan?" Jawabku. "Iya, sudah tau. Tapi ada yang aneh dengan dia. Kenapa dia kok nggak merasa kita ada disini ya.". "Dia tuna netra. Jelas dia nggak bisa melihat kita.". "Oh... gitu rupanya" Kian pun baru menyadari Via sebenarnya tidak bisa melihat. "ya sudah. Aku coba mengetuk pintunya lagi". Aku pun mencoba untuk kedua kalinya. "Tok tok tok...!". Aku menunggu dan menunggu. Tak lama suara langkah kaki terdengar lagi dan menuju ke arah pintu. Aku dan Kian kembali gugup. Tapi pintu tidak juga terbuka. Tak lama kemudian terdengan suara dari dalam. "Maaf..., Siapa ya?"Tanya orang didalam. "Ma... maaf mengganggu. Saya mau mengembalikan pensil yang tertinggal di toko 'Drawing. Kalau nggak salah alamat orang yang membelinya disini." Jawabku dengan alasan yang jelas walau sedikit ada kebohongan soal alamat. "Emm, sebentar ya.". Entah kenapa orang yang dibalik pintu itu percaya dengan alasanku. Terdengar kembali suara kunci untuk membuka pintu. Kami semakin merasakan ketakutan jika yang membuka pintu adalah anggota keluarganya. Pintu perlahan terbuka. Dan ternyata... Via yang membukanya kembali "Maaf...,?"  Tanya Via. Aku pun cepat-cepat membuka mulut dan memulai percakapan dengan dia. "permisi, anda yang bernama Via." Kataku sambil gugup. "Iya, maaf. Kalau boleh tahu siapa ya?" Tanya Via. "Aku Villa dan yang bersamaku sekarang namanya Kian". "Salam kenal." Kata Kian sok akrab. "Iya salam kenal." Suara yang begitu indah kudengar. "Oh ya, ini pensilnya yang ketinggalan." Aku memberikan pensilnya ke tangan Via yang sudah siap menerimannya. "Iya terima kasih.". Aku pun tanpa sengaja menyentuh tangan Via yang begitu putih dan bersih. Tanpa aku sadari aku melihat papan nama di dinding luar rumah Via yang bernama "Dr. Wendic Braham". Aku pernah ingat nama itu. Nama yang tidak asing di telingaku. Aku berfikir sebentar untuk mengingat nama itu. Dan... Oh ya, beliau adalah tokoh besar yang ada di kota ini. Dia adalah dokter yang berjasa memberikan obat-obatan kepada ratusan rakyat miskin yang terkena penyakit kulit. Memberikan dengan sukarelawan. Tidak ada dokter yang baik hati seperti beliau yang membatu dengan cara tanpa dibayar. Aku sudah membaca artikel-artikel yang memuatnya saat diperpustakaan. Tapi sayangnya, beliau meninggal setahun yang lalu dikarenakan kecelakaan. Aku berfikir lagi, apakah Via adalah keluarga dari Dr. Wendic itu?.
Selang  beberapa menit, aku dikejutkan dengan suara asing yang berada agak jauh dibelakangku. "Ada apa kalian datang kerumah kami?" Tanyanya. Aku melihat kebelakang dan tersentak melihat kakaknya Via datang dengan membawa bungkusan di tangannya. "Kalian mau apa kesini?." Tanyanya lagi. "Emm..., kami mau mengembalikan pensil ini ke Via. Dan sekalian pengen tau rumah dokter Wendic. Kami mau buat refrensi mengenai beliau." Kataku dengan alasan agar bisa melihat Via lebih lama. "kalian dari mana?". "Kami dari universitas negeri di kota ini.". "Baiklah. Ini sudah mulai malam. sebaiknya kita masuk dulu dan bicara di dalam sambil makan malam. Akan ku beritahu tentang Dr. Wendic, Jarang kita mendapatkan tamu". "Emm... baiklah." Aku dan Kian menerima tawaran kakaknya Via agar bisa lebih mengetahui tentang Via.

"Silahkan, tak perlu sungkan. Aku tahu kalian orang baik-baik." Katanya sambil mempersilahkan kami masuk. Kami pun masuk kerumah. berjalan di lorong dan melihat sekitar. perabotan yang unik dan sangat artistik. Saat aku masuk ke ruangan yang cukup besar. Aku melihat banyak sekali rak dengan berisi buku-buku. Mulai dari buku panduan sampai buku ilmu kedokteran. "Silahkan tunggu sebentar. saya menyiapkan makan malam dahulu". "Iy... iya. maaf merepotkan". Kataku bersamaan dengan Kian. Rumahnya sangat sederhana. Dan udara sekitar sini sangat sejuk. ventilasi yang banyak sangat memudahkan sirkulasi udara menjadi stabil di dalam rumah ini. Aku melihat Via di depan perapian sedang mencoba melukis sesuatu. aku menghampirinya dan melihat gambar yang Via lukis. Entah mengapa aku merasa iba melihat dia. Menggambar dengan tangan yang putih dan indah, tapi tidak bisa melihat hasil yang dia lukiskan. Rasanya, aku ingin memberikan mataku ini untuk dia, agar dia bisa melihat semua hasil karyanya. Hasil dari lukisannya dia pajang di dinding ruangan kecil khusus buat lukisan. Aku pun mendekati Via. "Sedang melukis apa Via?" aku bertanya dengan gugup. "Ah... Aku mencoba melukis Danau". "Oh... danau yang dimana ya?". "Danau luas yang dibalik bukit." ."oh yang itu..." Aku pura-pura tidak tahu. "iya" dia jawab seadanya. Aku liat Via sangat hafal dengan tinta warna mana yang perlu di goreskan oleh penanya. Tapi gambarnya sangat kurang dibanding lukisan-lukisan yang dahulu.


"Ayo, makanan sudah siap." Kakak Via mencoba memanggil kita. Aku dan Kian segera menuju ke dapur. Via juga berhenti melukis dan bergegas pergi ke dapur. Kami pun duduk bersamaan. Meja makan penuh dengan makanan enak yang di hidangkan. Seperti omelette dan chicken rice. Makanan penutupnya ada puding dan ice cream. "Wow... makanannya enak semua ya." Kata ku bersamaan dengan Kian. "Iya, silahkan di makan ya." Kata Kakaknya Via dengan senyum. Kami makan dengan lahap, karena kita juga sedang kelaparan. Di depan saya, Via makan dengan tenang. Sangat menawan dia sedang makan. Wajahnya yang bundar dengan kepolosannya yang menentramkan hatiku. Saat Kian memasukan makanan ke dalam mulutnya, dia melihatku sedang manatap dan melamun Via yang ada didepannya. Dia segera menyikutku dan aku terkaget. Kakaknya Via tiba-tiba melihat kita berdua. Kami pun terdiam seolah tidak terjadi apa-apa. "Gimana masakannya. Enak?" Tanyanya kepada kita. "Ee... Enak. Makanan yang enak yang pernah aku makan." Kataku sambil tersenyum. "Syukurlah. Oh ya, kalian kesini mau minta refrensi mengenai dokter Wendic ya?". "Iya kak. Kami mau mencari tau tentang semuanya mengenai dokter Wendic". "Ok. Aku jelaskan sambil makan tidak apa ya?". "Tidak apa kak". Kami pun berbincang banyak mengenai dokter Wendic. Yang berasal dari kaum bangsawan dengan 2 bersaudara. Sambil makan, kami juga mendengarkan penjelasan dari kakaknya Via bahwa Dokter Wendic dapat gelar Sarjana pada umur 16 tahun. Dia orang yang sangat pintar dan sangat menghargai orang. Dia menikah pada umur 24 tahun dengan teman sekolahnya yang bernama Arrum di saat sekolah menengah. Setelah menikah 5 tahun kemudian Via lahir dengan sehat. Kami berdua tertegun melihat penjelasan dari kakaknya Via, walau sesekali mencuri waktu untuk bisa melihat Via. 

Tak terasa waktu sudah larut. Dua jam Aku dan Kian mendengarkan penjelasan dari kakaknya Via. Kami merasa cukup puas. Via dari tadi sudah kembali ke kamarnya. "Gimana, penjelasannya apa masih kurang?" Tanya Kakak Via sambil tersenyum. "Sudah cukup Kak. Kami merasa puas." Kata ku sambil tersenyum. Kami beranjak dari kursi kami. "Sudah mulai larut kak. terima kasih atas jamuan dan penjelasannya.". "Iya, nggak apa. Kami juga senang ada tamu, apalagi yang datang demi ilmu pengetahuan." Kata kakak Via sambil memuji kita. "Iya kak. Oh ya, apa kakak dan Via tinggal berdua saja?". "Emm... Iya. Kami tinggal berdua saja.". "Oh..., tadi pas saat terakhir dari penjelasan kakak. Dokter Wendic meninggal karena kecelakaan dalam perjalanan". "Iya.".Kian disampingku melihat dengan tertegun saat melihat Aku bertanya dengan Kakaknya Via. "Sebelum pulang kami mau bertanya, apa itu yang menyebabkan Via tidak bisa melihat?" Aku pun spontan dan menerka-nerka bertanya kepada kakaknya Via. Sebab di akhir percakapan tadi Via dalam perjalanan bersama orang tunya. Dan menyebutkan kalau yang selamat dari insiden itu hanya Via. 


Aku penasaran apa benar yang menyebabkan Via tidak bisa melihat atau Tuna Netra disebabkan insiden itu? atau karena disebabkan hal yang lain? 


        

To be Continued...

Senin, 22 Juli 2013

Sesuatu Yang Tak Wajar Datang Ke Arah Ku (part 3)




Terpaku dan terdiam lama dalam lamunan mimpi. Senyum yang membuatku merasa terbang melambung tinggi. Dan seakan-akan waktu berhenti berputar. "Ah, i.. iya. Sama-sama" Jawabku dengan gugup. Paras wajahnya sangat indah dilihat. Aku mengambil kesempatan dengan memandangnya lebih lama. Tak lama dia pun pergi meninggalkanku. Perlahan aku melihat keganjalan pada dirinya. Tanpa kusadari aku melihat ia berjalan dengan di bantu dengan sebuah tongkat. Aku terkaget tak terkira. Via dengan paras yang cantik dengan keadaan Tuna Netra. "Via, ayo kita pulang" terdengar kakaknya Via memanggil. "Iya kak." Jawabnya. Ia pun menghampiri kakaknya yang tak jauh darinya. Aku hanya berdiri dan terdiam saat dia pergi meninggalkan toko ini. Entah mengapa, air mataku meleleh tanpa aku sadari. Merasa iba atau kasihan kepadanya. "Villa, mengapa kamu diam saja. sudah dapat belum barang yang kamu mau beli?". Aku terkejut Kian dibelakangku memanggil. "Oh, maaf Kian. Aku sudah dapat." jawabku. "Loh, ada apa kamu menangis. Apa ada sesuatu?" Kian melihat air mataku. "Ah, tak apa kian." Aku pun tersadar dan cepat menghapus air mataku. "Bicaralah padaku kalau ada sesuatu yang membuatmu sedih". "Nggak apa. Ini hanya debu yang masuk ke mataku. jangan dipikirkan.". "Oh, ya sudahlah kalo begitu.". Aku pun melihat ke arah luar dan melihat Via sudah pergi jauh meninggalkan toko. "Emm... Sebentar ya Kian. Aku pergi dulu ada urusan. Ntar tolong kamu bayarkan dulu peralatanku." Aku memberikan peralatanku kepada Kian dan pergi. "Loh, kamu mau kemana Vil?" Tanyanya. "Ada urusan sebentar. Nanti kamu kerumah saja. Ok" Aku pun pergi meninggalkan toko. "Ok." Jawab Kian sambil melihatku keluar dari toko. Aku berlari mengejar Via dan kakaknya yang sedang berjalan. Aku mengendap-ngendap agar aku tidak dicurigai oleh orang disekitar. Aku sempat berfikir mengapa aku mengikutinya? Atau aku ingin mengetahui kehidupannya? Entahlah, Aku hanya penasaran dengan Via. 
Selang beberapa menit, aku sudah sampai di daerah yang menurutku lumayan jauh dari keramain kota. Via dan kakaknya menghampiri rumah yang ada di pinggir sungai. Akupun diam-diam bersembunyi dibalik semak-semak dekat rumah itu. Merekapun masuk ke dalam rumah yang sederhana. Dengan dinding cat berwarna putih dan campuran cokelat yang luas tanah pekarangannya cukup luas. Pintu rumah pun ditutup. 

Tak terasa waktu sudah menjelang sore hari. Via dan kakanya pun tak kunjung keluar lagi. Aku berfikir, rumah inilah yang mereka tinggali. Aku pun sudah cukup menyelidiki Via dan pergi. Aku tak tahu jalan pikiranku dengan apa yang aku lakukan hari ini. Diperjalanan, aku berjalan seakan tak tahu arah. Melamun dan bingung seperti kehilangan sesuatu yang berharga. Sesaat diriku sampai di rumah, "Vill, ini sudah jam berapa. kemana saja kamu?" Kian sedikit kesal kepadaku. "Ah..., Kian. Maaf, kamu sudah menunggu. Aku baru dari tempat teman sebentar." Aku kaget dan mencari alasan. "Ya sudah, tak apa. Aku kira kamu ada apa-apa saat pergi." Kian khawatir. "Ya, maafkan aku" Jawabku. "Ya sudah, itu barangmu sudah aku kasih ke ibumu". "Terima kasih Kian, ini aku bayar." Aku pun membuka dompetku dan menggantikan uang yang aku beli. "Ayo masuk, kita makan malam dulu." Kataku. "Tak usah lah Vill. Terlalu merepotkan." jawabnya. "Sudahlah. Jarang kamu makan malam dirumah ku kan.?". "Emm..., Iya sudah tak apa. Tapi habis selesai makan aku harus pulang. Aku nggak mau merepotkan keluargamu terus.". "Iya.". Kami pun masuk dan makan malam bersama. 
Langit sudah gelap. Cahaya rembulan menyinari kota. Angin malam berhembus dengan lembutnya. Tak terasa waktu terus berganti. Esoknya pun hari yang dinanti oleh para pekerja, yaitu hari libur nasional. Sama sepertiku yang menantikan hari dimana aku bisa beristirahat dengan tenang. Setelah menyelasaikan makan malam, Kian pun pamit untuk pulang. Aku kembali ke kamar dan beristirahat untuk mengembalikan tenagaku.

 
Pada hari libur ini, banyak orang-orang melakukan kegiatan bersama keluarga, teman, bahkan pergi dengan pasangan masing-masing. Menggunakan momen dengan baik disaat liburan, bahkan diriku. Sejak pagi tadi, aku dan Kian pergi jogging di taman balik bukit dekat rumahku. Kami rutin melakukannya setiap hari libur. Suasana disini cukup ramai di gunakan oleh masyarakat pada hari libur seperti ini. Ada yang menghabiskan waktu dengan memancing di danau, dan ada juga yang piknik di taman. "Hah..., Kian, Istirahat sebentar. Aku lelah." Pintaku sambil mencari posisi untuk duduk. "Ok, kita istirahat dulu." Jawabnya sambil memberikan aku air. "Thanks". Kami pun berisitirahat di bawah pohon cemara. Cuaca dihari ini sangat cerah. Kami sangat menikmati suasana disini. "Vill, nanti jadi kan kita melukis" Kata Kian memotong lamunan ku. "Emm..., jadi." jawabku. Aku tak sabar mencoba peralatan-peralatan baru yang aku beli tempo hari. Barang-barang yang akan ku gunakan untuk melukis. 

Setelah selesai jogging aku kembali ke rumah dan mengisi perutku untuk makan siang. Aku melihat adikku sudah berada di depan layar televisi. Adikku tidak luput dari acara televisi, karena hari libur ini lah banyak ditayangkan acara khusus untuk anak-anak. Acara yang paling di gemari adalah The Moomins. Akupun menyukai serial kartun The Moomins itu. Kartun yang mempunyai seni dan pengetahuan yang diberikan. Aku paling suka dengan karakter Snufkin. Seorang pria berbadan kurus dengan berpakaian serba hijau. Dia sangat penyendiri dan memiliki banyak pengagum di moominvalley. Moominvalley adalah tempat fiktif yang indah dengan lereng hijau, sungai, pohon buah-buahan, bunga, dan tempat untuk hidup tenang dan damai seperti dalam tradisi puisi pastoral, namun masih terancam oleh kekuatan alam seperti banjir dan gunung berapi. Snufkin hanya sering tinggal di Moominvalley saat musim semi dan musim panas. Dia selalu membawa harmonika dan mengembara di seluruh dunia dengan alasan tertentu, agar hidupnya tak dibuat rumit. Karakter yang menjiwai bagiku. Sedangkan adikku lebih menyukai karakter Moomintroll dalam serial The Moomins. Moomintroll merupakan berbentuk hewan kuda nil berwarna putih. Moomintroll tinggal di moominhouse bersama dengan keluarganya moominpappa dan mominmamma. Moomintroll sangat menyukai berpetualang. Teman terbaiknya yaitu Snufkin. Adikku menonton dengan tanpa kedip sekalipun, hingga camilannya tak dia sentuh. Aku hanya bisa tersenyum melihatnya. 



Selesai dari menonton televisi, aku menyiapkan peralatan melukisku. Saat aku mencoba mengambil pensil yang aku beli, tiba-tiba aku teringat dengan Via. Gadis pemalu yang menawan hati ku. tanpa aku sadari terdiam dan melamun cukup lama. Akupun bergegas memasukan pensil ku kedalam tas dan pergi ke bukit itu. Kian ternyata sudah dahulu sampai dan sudah memulai menggambar. "Maaf Kian, aku terlambat." Kataku sambil mendekan ke Kian. "Ya, tak apa. Aku juga barusan datang kok Vill" Jawab Kian. "Oh..., ya sudah aku buka peralatanku dulu". "Ok.". Aku pun membuka dan memulai melukis. Kian sedang melukis Gerombolan itik yang ada di danau. Sedangkan aku sedang berfikir untuk mencari tema dengan seleraku. Sesaat lamanya aku belum juga dapat mencari inspirasi yang ingin aku gambar. Aku mencoba menggoreskan pensil dan tangan ini sulit untuk digerakan. Aku hanya melihat pensil yang aku pegang. Aku pun bertanya pada diriku sendiri. Apa aku masih memikirkannya? Apa dia baik-baik saja?. "Mengapa aku mengkhawatirkannya?. Dia bukan siapa-siapaku. Kalau dia ku kenal mengapa juga harus khawatir". Tanpa aku sadari ternyata kian sedang memperhatikanku. "Villa. sejak kemarin aku lihat kamu sering melamun. Ada apa Vill?, bicaralah padaku" Kian  berusaha membantu. "Emm, tidak apa-apa Kian." Jawabku. "Bicaralah." katanya lagi. "Sudah... Aku tidak apa-apa.".Kian pun menyerah. Kami pun melanjutkan untuk menggambar. Saat dan sesaat aku sama sekali tidak konsentrasi menggambar. Entah mengapa hasrat pada diriku ingin bertemu dengan Via. Aku bingung kalau membicarakan hal ini kepada kian. Terus dan lama akhirnya pun aku berdiri dan bicara kepadanya. "Kian, temanin aku dulu sebentar bisa?" Kataku sambil membereskan peralatan melukisku. "Loh, ada apa. Mau kemana kita." jawabnya penuh penasaran. "Sudah, ikut saja. Nanti kamu tahu sendiri.". "Ok lah.". Kami pun bergegas membereskan peralatan dan pergi. Diperjalanan Kian bingung dan terus bertanya mau kemana. "Villa, sekarang kita mau kemana?". "Sudahlah Kian, Kamu nggak usah khawatir.". Kami menyusuri kota dan melewati toko-toko yang berada di pinggiran kota dengan menggunakan sepeda. Selang beberapa lama, kami pun sudah keluar dari alun-alun kota dan sudah sampai di daerah rumah Via. Aku mencoba mengingat rumah yang Via dan kakaknya tinggal. "Vill, sebentar. Sebenarnya kita mau menemui siapa sih." Tanya Kian sedikit penasaran. Akupun langsung mencoba menjelaskan mengapa aku harus membawa Kian tanpa memberitahukan kepadanya dahulu. "Maaf Kian, sebenarnya aku penasaran dengan gadis yang kita temui saat kita membeli peralatan di toko 'Drawing." Jawabku dengan tenang. "Yang mana?, Aku nggak lihat?" Kian penasaran. "Ya sudah, nanti kamu lihat saja sendiri." Jawabku. "Oh, pantas baru-baru ini kamu sering melamun." Kian menyelidiku. "Emm, Iya sih." Aku sedikit tersipu. "Tapi, bukan itu saja. Saat di toko kemarin, pensil miliknya dia ketinggalan. Jadi aku mau memberikan kepadanya.". Saat ditoko kemarin, dia memegang dua pensil, dan yang aku kembalikan hanya satu buah. Aku lupa memberikan satunya karena aku terpesona dengan dia. "Emm, ya sudah. Kita berikan saja. Tapi, apa tidak apa memberikan langsung kerumahnya?" Kian ragu dengan keluarganya. "Yah, mudahan saja.". Kamipun menemukan rumah Via, karena aku ingat di samping rumahnya terdapat sungai. Entah mengapa, jantung ku berdetak tidak biasanya. Begitu juga Kian, harap cemas sekaligus takut dengan mengira keluarga Via yang menyeramkan. Kami memarkirkan sepeda di halaman rumah via. Diam dan tenang saat mendekat ke pintu rumah Via. Menaiki anak tangga kayu teras dengan hati-hati. Aku mengetuk pintu dengan perlahan. "tok tok". Menunggu, menunggu, dan tak ada jawaban, aku mengetuk kedua kalinya dengan agak keras, "tok tok tok". Bunyi langkah kaki dari dalam perlahan mendekat kearah pintu. Kami pun agak gelisah. bunyi kunci pintu terdengar. Pintu pun perlahan terbuka sedikit-demi sedikit melebar. Aku terkaget bersamaan dengan Kian. Yang membuka pintu ternyata si Via, bukan dari keluarganya. "Selamat datang kakak." Kata Via dengan senyum yang menawan.
      

To be continued...




Minggu, 14 Juli 2013

Sesuatu Yang Tak Wajar Datang Ke Arah Ku (part 2)


Matahari sudah mulai bersinar dengan terangnya. Awan-awan pergi ditiup angin sehingga langit pun cerah. Burung-burung berkicau dengan merdu dan saling sahut-menyahut. Berlari kesana kemari bersama kawan-kawannya. Mereka membuat sarang di atas pohon cemara, dan ada juga mencari-cari biji-bijian dari pohon cemara itu. Bukan hanya burung-burung yang sedang bermain, tapi hewan lain pun ikut bermain. Sungguh suasana yg menyenangkan di waktu siang ini. Walau panas matahari menyengatku. Tak ada satupun melihat kegembiraan di hari ini kecuali diriku.
Aku tetap terpana melihat gadis itu yang hanya sekitar beberapa meter dari tempatku memandangnya. Seakan aku terhipnotis olehnya. Dia sangat anggun disaat menari dan bernyanyi. Pakaiannya sangat menawan, dengan memakai baju long dress dan rok dia sudah memiliki aura tersendiri. Mungkin dia belum menyadari diriku. Aku ingin melihatnya lebih dekat. Dan disaat aku melangkah, tiba-tiba terdengar suara memanggilnya. "Via, ayo kita pulang. Kakak belum menyiapkan makan malam nih". "Iya kak". Dia pun berhenti bernyanyi dan Orang yang memanggilnya menghampiri gadis itu. Dia pun pergi meninggal kan taman. Aku merasa sedikit kecewa. Tidak sempat melihat dia secara dekat. Wajah yang sangat kasual, mata yang bulat, dengan rambut yang lurus dan panjang. Begitu indah dipandang. "Via" akan ku ingat nama itu. Lama dalam lamunan mimpi.

Tak terasa waktu sudah menunjukan waktu jam 4 sore. Aku bergegas untuk menyelesaikan lukisan ku. Tapi sejauh ini aku tidak tenang dan tidak fokus untuk menggambar. Setiap tangan ini untuk menggoreskan pena diatas kertas putih, pikiran ku langsung tertuju pada gadis yang bernama Via itu. Dengan bersenandu nada yang dinyanyikan olehnya, membuatku terlena dan tidak berdaya."Hah, lebih baik aku pulang saja." Pinta ku sendiri. Ku bereskan peralatan menggambarku dan beranjak pergi dari bukit ini.

Waktu terus berlalu, dan malam pun tiba. Setelah selesai mandi, aku pergi menuju ke ruang makan untuk makan malam bersama. Adikku dan Ibuku kaget melihat aku diam. Biasanya saat makan malam aku lah yang paling banyak bicara. Saat makan aku pun masih saja melamun dan terpikir olehnya seaakan diriku tak bernyawa."Villa, tuh makanannya cepat di makan. Adikmu sudah selesai dari tadi." Ketus ibu ku. "Oh, iya bu." jawab ku. "Kamu lagi mikirin siapa Vil"."Nggak bu, cuma mikirin kesibukan hari ini saja kok bu."."Oh..., ya kalo kamu ada apa-apa bilang saja ke ibu"."Iya bu.". "Hah, lebih baik aku melupakannya." Gumam ku sendiri. Aku befikir hanya sekali itu saja mungkin aku bertemu dengan gadis itu.
Aku menyelesaikan makan ku dan bergegas ke kamar. Aku mengambil buku catatan dan membuat agenda untuk kegiatan esok hari. Aku senang membuat jadwal kegiatan, karena aku bisa disiplin dan lebih mandiri. Ayahku dulu telah mengajariku sejak kecil, agar hidup bisa digunakan sebaik mungkin. Karena hidup hanya sementara. Aku membuat jadwal hampir sama dengan jadwalku hari ini. Setelah aku membuat jadwal kegiatan besok, aku mencoba untuk tidur. Malam yang sunyi, dingin datang menghampiri. Ditemani oleh ringkikan suara serangga.

Esoknya pun aku melakukan kegiatan seperti halnya hari kemarin. Mengantarkan koran sebagai loper koran dan mengajar seperti halnya aku menjadi dosen di universitas negeri. Cuaca kurang bersahabat hari ini. Di penjuru seantro kota diguyuri oleh hujan yang diturunkan oleh Tuhan ke bumi. Banyak sebagian orang menganggap hujan adalah keberuntungan, dan ada juga sebagian orang hujan adalah membawa keburukan. Yah, tergantung penilain dari masing-masing pihak saja. Bagiku hujan adalah segalanya. Setelah mengajar aku mencoba ke perpustakaan kota. Terkadang setiap selesai mengajar, aku pergi menghabiskan waktu membaca buku di salah satu perpustakaan yang berada di kota yg luasnya hanya 3.280 he ini yang menurutku cukup lengkap. Aku biasanya mencari artikel mengenai teknik mesin, dan membaca artikel-artikel mengenai pelukis favorit ku, Pablo Picasso. Dia sosok yang aku idolakan dan sudah menghasilkan 20.000 karya dalam hidupnya. Pablo Picasso sering merubah gaya lukisannya, karena dia memiliki banyak teman. Gaya yang paling populer adalah gaya kubismenya, yang bisa mengejutkan dunia karena mengubah persepsi orang dalam dunia seni. Lukisan bukan hanya sebagai keindahan seni, melainkan sebagai penelitian dan eksperimen. Kata-kata itu lah yang selalu aku ingat dalam berkarya.

Hujan telah berhenti. Aku pun keluar dari perpustakaan dan pulang kerumah. Di perjalanan aku bertemu dengan teman baikku, Kiantira, panggil saja Kian. "Halo Vil, Gimana Kegiatan hari ini. Lancar saja?" Kian Menyapa ku. "Yah, lancar saja. Kamu mau jemput adikmu kah?"."Iya nih, Kegiatan sehari-hari, haha." Canda Kian. "Kapan kita melukis lagi?"."Emm..., Tunggu hari libur saja ya"."Ok"."Eh, besok bisa temenin aku beli peralatan melukis?. Kertas gambar ku sudah mulai habis!"."Bisa, tapi jam kosong saja ya."."Ok"."Ya sudah, aku mau jemput dulu adikku, sampai nanti ya."."Ya, hati-hati". Dia pergi dan aku hanya melihat dia dari belakang punggungnya. Dia adalah teman sekaligus saudara bagiku. Sama-sama menyukai seni melukis. Orang yang ramah, dermawan, dan penuh tanggung jawab. Hanya lebih muda setahun dariku. Sejak kecil aku sering bermain dengannya. Walau sekarang rumahnya tidak lagi berdekatan bukan berarti kami memutuskan tali persaudaraan. Sekarang dia bekerja di pabrik plastik yang ada di kota ini. Aku teringat saat diriku masih kecil. Aku sering di ganggu dan di ejek  teman-temanku karena aku pendiam dan bersikap acuh apabila diajak bicara. Dia lah yang selalu menolong dan membela aku. Memang, saat aku kecil aku orangnya pemalu dan jarang mau berbicara kepada orang. Tapi Kian berusaha keras agar aku bisa berkomunikasi dengan orang disekitar. Sedikit demi sedikit aku bisa berkomunikasi dengan baik. Dia adalah teman sekaligus sahabat pertama bagiku. Sahabat yang takkan hilang dalam hidupku.

Tiba dirumah tepat jam 3 siang. Sesampainya dirumah aku mencoba untuk mengistirahatkan tubuhku dan berbaring di kasur. Hujan telah berhenti. Sinar matahari menyinari bumi. Selang beberapa menit aku bangkit dan mengambil peralatan melukisku. Aku pergi ke atas bukit itu lagi untuk melukis karena sore hari suasananya sangat bagus untuk berinspirasi apalagi setelah hujan. Aku menggambar dengan nikmat, tenang, dan penuh dengan ide. Tak terasa matahari mulai terbenam. Aku pun menyelesaikan lukisanku. Lukisan seorang gadis yang tengah menari ditaman.

Aku pulang kerumah saat matahari tenggelam. "Aku pulang"."Selamat datang." Jawab Ibu ku. "Ibu, sudah ada kah pesanan ku?"."Pesananmu? oh ya, sudah ibu belikan". Pagi hari aku menitip kepada Ibu untuk membelikan sepasang sandal. Sandalku putus saat ke bukit karena terhalang akar pohon, jadi selama ini aku berpergian menggunakan sepatu.
Setelah makan aku menonton televisi bersama adikku Gimi. Walau keluargaku sederhana, kami mempunyai hiburan sendiri, televisi 19" yang selalu menemani keluarga. Siaran yang paling aku suka di saat jam sekarang yaitu menonton tayangan iklan komedi. Tayangan yang hanya sekedar menghibur pemirsa dirumah. "Hahahaha...!" Adikku tertawa melihat iklan itu.
Tak terasa waktu sudah larut malam. Aku bergegas kembali ke kamarku. Membuat tambahan jadwal untuk kegiatan besok, yaitu membeli alat melukisku. Setelah itu aku bersiap untuk tidur. Sauasan tenang di lamunkan oleh keheningan malam. Cahaya bulan masuk dibalik tirai jendelaku. Ku harap esok hari yang lebih baik.

Pagi yang tenang dan seperti biasanya, aku mengantar koran di pagi harinya. Aku tidak ada jadwal mengajar pada pagi hari melainkan siang hari. Setelah mengantar berita kepada orang-orang, aku langsung saja ke kampus walau pelajar pagi tak ada. Apabila tidak ada pelajaran mengajar, aku biasanya mampir ke perpustakaan dan menghabiskan waktuku disana. Aku pun duduk dan membaca dengan tenang. Tidak lama aku membaca, tiba-tiba ada suara memanggil dari arah depanku. "sstt, pak Villa.". Aku melihat ke arah depan dan ternyata dosen Stella memanggilku. "Ada apa stell?" Jawabku. "Lagi baca buku juga ya pak"."Iya, sambil menunggu pelajaranku masuk, Ibu nggak ngajar kah?"."Aku sudah selesai pak, aku mau rehat sebentar di sini. Bapak lanjut saja lagi."."Oh..., ya bu.". Dosen Stella mengajar sastra di universitas ini. Orangnya sangat fleksibel dan ramah. Dia cantik dan manis. Banyak yang mau menikahinya, baginya belum ada yang sesuai untuk kehidupan kedepannya. tapi bagiku, dia hanyalah teman mengajar. Jam masuk pelajaran pun sudah dimulai. Aku pun bergegas masuk ke kelas.

Masa muda memanglah panjang, tapi bagiku lebih baik digunakan sebaik-baiknya. Hidup berfoya-foya sangat merugikan. Untukku ilmu dicari karena ilmu tidak akan pernah habis. Banyak pengangguran dan tuna wisma karena kurangnya pendidikan dan lapangan pekerjaan. Aku beruntung mempunyai pekerjaan walau hasil mencukupi. Maka pekerjaan digunakan semaksimal mungkin.
Setelah dari kampus aku menuju ke pabrik plastik untuk bertemu sahabatku yang tak jauh dari kampusku. saat di depan pabrik, aku di kagetkan oleh security yang menjaga disini. "Halo Vill, bagaimana kabarmu?" Tanya pak security. "Baik pak, Bapak sendiri bagaimana kabarnya?". "Baik juga Vill, Pasti sedang menunggu Kian?". "Iya pak, Sudah ada janji soalnya. Jadi ya aku tunggu saja dia pulang kerja". "Oh, duduk sini dulu Vil." Sambil menawarkan bangku untukku. "Ya pak." Jawabku. Pak Loki namanya yang bertugas menjadi security disini. Dia sudah mengenalku lebih lama sejak Kian bekerja disini selama 4 tahun. "Mau kopi Vil?" Tanyanya sambil menyuguhkan secangkir kopi. "Eh, mau pak. Kebetulan cuaca agak mendung dan dingin. lebih nyaman ditemanin secangkir kopi". "Bagaimana kabar ibumu dirumah, apa baik-baik saja?" Tanyanya lagi. "Baik saja pak.". Aku pun memulai percakapan dengan dia. Banyak yang diceritakan, seperti halnya dia sudah mempunyai anak pertama sejak 12 tahun menikah. Aku mengucapkan selamat dan dia senang mendengarnya. Keluarganya banyak berkunjung setelah istrinya melahirkan. Aku mengucapkan selamat dan dia senang mendengarnya. Aku juga minta maaf karena tidak mampir melihat anaknya. Pak Loki juga mengeritik pemerintahan disini karena kurangnya bersosialisasi kepada warganya.

Waktu terus berlalu. Aku pun menikmati percakapan ini. Tiba-tiba Kian memanggilku dari kejauhan. "Vil, aku sudah pulang. Jadikah beli peralatannya?" Tanyanya sambil sedikit berteriak. "Iya..., Aku menunggumu dari tadi." Jawabku. "Ok ya pak. Aku pergi dulu sama Kian." Kataku. "Iya Vil. Kapan-kapan kita ngobrol lagi ya." Balasnya. "Ok, kalau ada waktu ntar aku sama Kian kerumah bapak lihat anak bapak.". "Iya, jangan sungkan kerumah." Jawabnya. "Pak, aku pulang dulu." Kata Kian kepada Pak Loki. Saat meninggalkan pabrik Kian bertanya sama aku. "Vil, sudah bawa uang nggak. Ntar ketinggalan lagi kaya tempo hari.". "Sudah. Aku pasti ceklah di sakuku". Aku pernah mengalami saat membeli sepatu uangku ketinggalan. Untung Kian ada membawa uang, jadi aku pinjam uangnya untuk membayar sepatu. Tak lama kemudian kami sampai di toko yang menjual peralatan melukis, toko 'Drawing namanya. Aku masuk dahulu dan dilanjuti oleh Kian. "Nah, kamu cari sudah keperluanmu. Aku akan mencari disana." Kata Kian sambil melihat-lihat sekitar. Pelanggannya cukup ramai sebab barang disini lagi turun harga walau hanya sekedar peralatan melukis. Aku mencari satu demi satu barang yang aku perlukan. Ada rak kecil yang menyimpan kuas dan pen dan ada juga rak besar yang menyimpan segalanya yang besar dalam peralatan lukisan. Aku menghampiri rak yang kecil. Aku ingin membeli beberapa pensil buat sketsa gambar ku. Simpel tapi Efisien. Di saat aku berjalan, aku tidak melihat bahwa ada orang didepan yang sedang berdiri memegang pensil dan menabraknya. Pensilnya pun terjatuh. "Ah, maaf aku tidak sengaja" Kataku sambil meminta maaf. Aku pun bergegas mengambil pensil yang terjatuh itu. "Tidak apa-apa" Kata orang yang aku tabrak. Aku pun menyerahkan pensil itu kepada orangnya. "Ini pensilmu" Kataku. Aku pun terkaget saat aku menyerahkan pensil itu kepadanya. Wajah yang aku kenal dan tak asing lagi bagiku. Jantungku pun berdetak dengan kencang, seakan-akan aku melihat badai yang menimpa penjuru kota ini. bibirku terkunci saat mau berkata, "Via". "Iya, Terima kasih!" Lirihnya sambil tersenyum.


To be continued...

   


Jumat, 12 Juli 2013

Sesuatu Yang Tak Wajar Datang Ke Arah Ku (part 1)

       Semua berawal dari perkenalan saat aku mendekati sebuah rak berisi ratusan pensil yang aku hampiri di toko 'Drawing. Toko yang menyimpan ragam jenis bahan-bahan untuk menggambar. Toko yang menurut ku lengkap dari semua toko yang aku kunjungi di kota ini. Oh ya, nama ku Villa dengan dua bersaudara. umur ku 24 tahun. Aku yang tertua dan adik ku baru umur 10 tahun, Gimi panggilannya. Gimi adik ku sekolah tak jauh dari rumah kami. Dia anak yang pintar dalam mencari solusi. Kami tinggal di pinggir kota dengan rumah yang sangat sederhana. Rumah kayu dengan warna kuning pucat yang selalu kita tempati bersama. Ibuku lah satu-satunya keluargaku yang paling berharga dan masih bertahan di rumah ini. Semua takkan pernah terjadi tanpa adanya dukungan dari ibu ku.

Di sela mentari pagi, aku bergegas untuk bangun dan siap bekerja  mengantar kabar-kabar terbaru dari dunia. Dengan ditemani sepeda usang yang selalu menemani ku di kala aku bekerja. "Ibu, aku berangkat dulu..." Kata ku kepada ibu. "Ya, hati-hati di jalan." jawab ibu. Akulah penopang hidup untuk menafkahi keluargaku sejak ayahku meninggal dikarenakan sakit jantung. Waktu pun sudah beranjak jam 5 pagi. Aku pun bergegas pergi. Dengan menyusuri alun-alun kota dan di sinari mentari pagi. Udaranya begitu dingin sehingga aku memakai jaket tebal bekas ayahku. 

Aku pun sampai dengan tepat waktu. "pagi vil" sapa pak dira marketing ditempat ku kerja. "Pagi pak" jawab ku. Aku pun bergegas mengambil beberapa tumpukan kertas yang dipenuhi dengan tulisan dan gambar. Aku keluar mengambil sepeda dan mengayuhnya kembali. Satu demi satu rumah aku hampiri. Dengan keringat yang penuh makna. Walau aku bekerja sebagai loper koran, aku ikhlas dan bangga dapat menginfokan berita-kepada masyarakat. 

Tak terasa matahari sudah terlihat tinggi di atas langit. Akupun menyelesaikan tugas ku sebagai pengantar koran. Setelah bekerja menjadi pengantar koran, aku harus bekerja lagi menjadi dosen di salah satu universitas negeri di kota ini. Memang, hidup tak semudah membalikan telapak tangan. Hidup penuh dengan perjuangan. Aku mengambil kata-kata dari Gen. Collin Powell, "Tak ada rahasia untuk menggapai sukses dan itu dapat terjadi karena persiapan, kerja keras, dan mau belajar dari kesalahan." Menjadi dosen juga menyenangkan. Bisa berinteraksi dengan mahasiswa-mahasiswa yang ingin memperluas wawasan ilmunya. Disini aku mengajar teknik mesin, karena aku lulusan STM mesin dan mengambil kuliah jurusan mesin. Beruntung aku mendapatkan beasiswa sewaktu sekolah, sehingga dana kuliah bisa ringan. Waktu demi waktu terlewati. Tak terasa waktu mengajar selesai. Aku pun memberikan mereka tugas yang ringan kepada mereka, yaitu membuat gambar isometri dari gambar orthogonal dari kertas yang sudah dibagi tadi dan akan dikumpulkan tiga hari lagi. Aku senang mahasiswa disini sangat penuh dengan tanggung jawab. 

waktu menunjukan jam 1 siang. Aku kembali dengan lemas tak berdaya. Perut terasa kosong dan tak bertenaga. "Aku pulang, Ibu sudah masak apa belum?" pinta ku. "Sudah, makan dulu sana. Ada sayur bening sama tempe penyet kesukaanmu", jawab Ibu. Aku bergegas ke dapur. "Ibu tau saja makanan kesukaanku", Kata ku sambil tersenyum. "Halo kak, gimana pekerjaannya" Gimi berkata kepada ku yang sedang makan. "Seperti biasa Gim. Gimana sekolahmu, lancar aja kan?", Jawab ku. "Gurunya kak, aku menjawab ke pertanyaannya dengan benar semua, eh... malah aku disuruh memperbaiki!", dengan nada kesal Gimi bicara. "Loh, kenapa lagi gurumu.". "Katanya ya aku nggak beri solusinya. Tapi aku sudah mengerjakan di kepala ku semua.". "Kamu sudah bilang ke gurunya" . "Sudah kak, tapi dia nggak percaya. karena dia nggak bisa mengerjakaan di kepalanya. katanya aku curang" Berkata Gimi dengan nada kesal. "Bagaimana gurumu nggak meluluskanmu. Karena kau lebih pintar?" kata ku. "Aku juga sudah bilang". "Hufft... sudah kamu tulis lisan aja. gurumu takut tersaingi olehmu mungkin" kata ku sambil mengelus kepala Gimi. "Ya kak", jawab Gimi. 

Selesai makan aku bergegas menyiapkan peralatan melukisku. Melukis adalah salah satu hobby kesukaan ku. penuh dengan artistik, ketenangan, kreatifan, dan keindahan. Aku sering melukis di bukit hutan seberang rumah. Sangat tenang dan dapat menyalurkan ide-ide keanekaragaman dalam melukis. Hutan yang luas sekitar 680 he ini bukan cuma sekumpulan pohon dan tumbuhan saja. di balik bukit itu terdapat danau yang cukup luas, pegununggan dan taman yang begitu indah. Dengan ditumbuhi berbagai macam bunga, seperti bunga tulip, mawar, melati, maupun anggrek. Walau jarang dikunjungi orang, tempat ini cukup bersih dan asri. Persiapan ku sudah selesai, dan aku pergi menuju bukit itu. "Ibu, aku ke bukit dulu ya.", kata ku. "Iya, jangan malam-malam pulangnya", Jawab ibu. "Iya". Aku pun pergi dan melihat cuaca yang tidak begitu panas. Yah, walaupun agak mendung tapi tidak dapat menghentikan ku untuk melukis. Saat sampai di atas bukit, aku memilih tempat yang enak dalam menggambil sudut melukis ku. "emmm... nah, di bawah pohon itu kayanya bagus untuk melukis." Pinta ku sendiri. Aku bergerak menuju pohon itu. Ku buka peralatan melukis ku dan aku mulai mencari inspirasi dalam karya menggambar. Saat dan sesaat. Aku mendengar suara perempuan yang asing di telinga ku yang sedang bernyanyi "na na na,,, ". Aku mencari-cari dimana suara itu berasal. Memandang dengan seksama daerah disekitar aku melukis. Tiba-tiba akupun terdiam dan terhenyak. Melihat seorang gadis paruh baya nan cantik dan Indah sedang bernyanyi di pinggir danau dengan suara yang begitu indah. Aku pun tak bisa berkata-kata dengan melihat ke elokannya. Diam dan diam, dunia se akan berhenti berputar. suara hembusan angin begitu lembut mnyelimuti ku. Apakah Gadis ini adalah anugerah Tuhan yang sempurna sehingga aku terpaku dan terpana melihatnya?


To be continued...