Terpaku dan terdiam lama dalam lamunan mimpi. Senyum yang membuatku merasa terbang melambung tinggi. Dan seakan-akan waktu berhenti berputar. "Ah, i.. iya. Sama-sama" Jawabku dengan gugup. Paras wajahnya sangat indah dilihat. Aku mengambil kesempatan dengan memandangnya lebih lama. Tak lama dia pun pergi meninggalkanku. Perlahan aku melihat keganjalan pada dirinya. Tanpa kusadari aku melihat ia berjalan dengan di bantu dengan sebuah tongkat. Aku terkaget tak terkira. Via dengan paras yang cantik dengan keadaan Tuna Netra. "Via, ayo kita pulang" terdengar kakaknya Via memanggil. "Iya kak." Jawabnya. Ia pun menghampiri kakaknya yang tak jauh darinya. Aku hanya berdiri dan terdiam saat dia pergi meninggalkan toko ini. Entah mengapa, air mataku meleleh tanpa aku sadari. Merasa iba atau kasihan kepadanya. "Villa, mengapa kamu diam saja. sudah dapat belum barang yang kamu mau beli?". Aku terkejut Kian dibelakangku memanggil. "Oh, maaf Kian. Aku sudah dapat." jawabku. "Loh, ada apa kamu menangis. Apa ada sesuatu?" Kian melihat air mataku. "Ah, tak apa kian." Aku pun tersadar dan cepat menghapus air mataku. "Bicaralah padaku kalau ada sesuatu yang membuatmu sedih". "Nggak apa. Ini hanya debu yang masuk ke mataku. jangan dipikirkan.". "Oh, ya sudahlah kalo begitu.". Aku pun melihat ke arah luar dan melihat Via sudah pergi jauh meninggalkan toko. "Emm... Sebentar ya Kian. Aku pergi dulu ada urusan. Ntar tolong kamu bayarkan dulu peralatanku." Aku memberikan peralatanku kepada Kian dan pergi. "Loh, kamu mau kemana Vil?" Tanyanya. "Ada urusan sebentar. Nanti kamu kerumah saja. Ok" Aku pun pergi meninggalkan toko. "Ok." Jawab Kian sambil melihatku keluar dari toko. Aku berlari mengejar Via dan kakaknya yang sedang berjalan. Aku mengendap-ngendap agar aku tidak dicurigai oleh orang disekitar. Aku sempat berfikir mengapa aku mengikutinya? Atau aku ingin mengetahui kehidupannya? Entahlah, Aku hanya penasaran dengan Via.
Selang beberapa menit, aku sudah sampai di daerah yang menurutku lumayan jauh dari keramain kota. Via dan kakaknya menghampiri rumah yang ada di pinggir sungai. Akupun diam-diam bersembunyi dibalik semak-semak dekat rumah itu. Merekapun masuk ke dalam rumah yang sederhana. Dengan dinding cat berwarna putih dan campuran cokelat yang luas tanah pekarangannya cukup luas. Pintu rumah pun ditutup.
Tak terasa waktu sudah menjelang sore hari. Via dan kakanya pun tak kunjung keluar lagi. Aku berfikir, rumah inilah yang mereka tinggali. Aku pun sudah cukup menyelidiki Via dan pergi. Aku tak tahu jalan pikiranku dengan apa yang aku lakukan hari ini. Diperjalanan, aku berjalan seakan tak tahu arah. Melamun dan bingung seperti kehilangan sesuatu yang berharga. Sesaat diriku sampai di rumah, "Vill, ini sudah jam berapa. kemana saja kamu?" Kian sedikit kesal kepadaku. "Ah..., Kian. Maaf, kamu sudah menunggu. Aku baru dari tempat teman sebentar." Aku kaget dan mencari alasan. "Ya sudah, tak apa. Aku kira kamu ada apa-apa saat pergi." Kian khawatir. "Ya, maafkan aku" Jawabku. "Ya sudah, itu barangmu sudah aku kasih ke ibumu". "Terima kasih Kian, ini aku bayar." Aku pun membuka dompetku dan menggantikan uang yang aku beli. "Ayo masuk, kita makan malam dulu." Kataku. "Tak usah lah Vill. Terlalu merepotkan." jawabnya. "Sudahlah. Jarang kamu makan malam dirumah ku kan.?". "Emm..., Iya sudah tak apa. Tapi habis selesai makan aku harus pulang. Aku nggak mau merepotkan keluargamu terus.". "Iya.". Kami pun masuk dan makan malam bersama.
Langit sudah gelap. Cahaya rembulan menyinari kota. Angin malam berhembus dengan lembutnya. Tak terasa waktu terus berganti. Esoknya pun hari yang dinanti oleh para pekerja, yaitu hari libur nasional. Sama sepertiku yang menantikan hari dimana aku bisa beristirahat dengan tenang. Setelah menyelasaikan makan malam, Kian pun pamit untuk pulang. Aku kembali ke kamar dan beristirahat untuk mengembalikan tenagaku.
Pada hari libur ini, banyak orang-orang melakukan kegiatan bersama keluarga, teman, bahkan pergi dengan pasangan masing-masing. Menggunakan momen dengan baik disaat liburan, bahkan diriku. Sejak pagi tadi, aku dan Kian pergi jogging di taman balik bukit dekat rumahku. Kami rutin melakukannya setiap hari libur. Suasana disini cukup ramai di gunakan oleh masyarakat pada hari libur seperti ini. Ada yang menghabiskan waktu dengan memancing di danau, dan ada juga yang piknik di taman. "Hah..., Kian, Istirahat sebentar. Aku lelah." Pintaku sambil mencari posisi untuk duduk. "Ok, kita istirahat dulu." Jawabnya sambil memberikan aku air. "Thanks". Kami pun berisitirahat di bawah pohon cemara. Cuaca dihari ini sangat cerah. Kami sangat menikmati suasana disini. "Vill, nanti jadi kan kita melukis" Kata Kian memotong lamunan ku. "Emm..., jadi." jawabku. Aku tak sabar mencoba peralatan-peralatan baru yang aku beli tempo hari. Barang-barang yang akan ku gunakan untuk melukis. Setelah selesai jogging aku kembali ke rumah dan mengisi perutku untuk makan siang. Aku melihat adikku sudah berada di depan layar televisi. Adikku tidak luput dari acara televisi, karena hari libur ini lah banyak ditayangkan acara khusus untuk anak-anak. Acara yang paling di gemari adalah The Moomins. Akupun menyukai serial kartun The Moomins itu. Kartun yang mempunyai seni dan pengetahuan yang diberikan. Aku paling suka dengan karakter Snufkin. Seorang pria berbadan kurus dengan berpakaian serba hijau. Dia sangat penyendiri dan memiliki banyak pengagum di moominvalley. Moominvalley adalah tempat fiktif yang indah dengan lereng hijau, sungai, pohon buah-buahan, bunga, dan tempat untuk hidup tenang dan damai seperti dalam tradisi puisi pastoral, namun masih terancam oleh kekuatan alam seperti banjir dan gunung berapi. Snufkin hanya sering tinggal di Moominvalley saat musim semi dan musim panas. Dia selalu membawa harmonika dan mengembara di seluruh dunia dengan alasan tertentu, agar hidupnya tak dibuat rumit. Karakter yang menjiwai bagiku. Sedangkan adikku lebih menyukai karakter Moomintroll dalam serial The Moomins. Moomintroll merupakan berbentuk hewan kuda nil berwarna putih. Moomintroll tinggal di moominhouse bersama dengan keluarganya moominpappa dan mominmamma. Moomintroll sangat menyukai berpetualang. Teman terbaiknya yaitu Snufkin. Adikku menonton dengan tanpa kedip sekalipun, hingga camilannya tak dia sentuh. Aku hanya bisa tersenyum melihatnya.
Selesai dari menonton televisi, aku menyiapkan peralatan melukisku. Saat aku mencoba mengambil pensil yang aku beli, tiba-tiba aku teringat dengan Via. Gadis pemalu yang menawan hati ku. tanpa aku sadari terdiam dan melamun cukup lama. Akupun bergegas memasukan pensil ku kedalam tas dan pergi ke bukit itu. Kian ternyata sudah dahulu sampai dan sudah memulai menggambar. "Maaf Kian, aku terlambat." Kataku sambil mendekan ke Kian. "Ya, tak apa. Aku juga barusan datang kok Vill" Jawab Kian. "Oh..., ya sudah aku buka peralatanku dulu". "Ok.". Aku pun membuka dan memulai melukis. Kian sedang melukis Gerombolan itik yang ada di danau. Sedangkan aku sedang berfikir untuk mencari tema dengan seleraku. Sesaat lamanya aku belum juga dapat mencari inspirasi yang ingin aku gambar. Aku mencoba menggoreskan pensil dan tangan ini sulit untuk digerakan. Aku hanya melihat pensil yang aku pegang. Aku pun bertanya pada diriku sendiri. Apa aku masih memikirkannya? Apa dia baik-baik saja?. "Mengapa aku mengkhawatirkannya?. Dia bukan siapa-siapaku. Kalau dia ku kenal mengapa juga harus khawatir". Tanpa aku sadari ternyata kian sedang memperhatikanku. "Villa. sejak kemarin aku lihat kamu sering melamun. Ada apa Vill?, bicaralah padaku" Kian berusaha membantu. "Emm, tidak apa-apa Kian." Jawabku. "Bicaralah." katanya lagi. "Sudah... Aku tidak apa-apa.".Kian pun menyerah. Kami pun melanjutkan untuk menggambar. Saat dan sesaat aku sama sekali tidak konsentrasi menggambar. Entah mengapa hasrat pada diriku ingin bertemu dengan Via. Aku bingung kalau membicarakan hal ini kepada kian. Terus dan lama akhirnya pun aku berdiri dan bicara kepadanya. "Kian, temanin aku dulu sebentar bisa?" Kataku sambil membereskan peralatan melukisku. "Loh, ada apa. Mau kemana kita." jawabnya penuh penasaran. "Sudah, ikut saja. Nanti kamu tahu sendiri.". "Ok lah.". Kami pun bergegas membereskan peralatan dan pergi. Diperjalanan Kian bingung dan terus bertanya mau kemana. "Villa, sekarang kita mau kemana?". "Sudahlah Kian, Kamu nggak usah khawatir.". Kami menyusuri kota dan melewati toko-toko yang berada di pinggiran kota dengan menggunakan sepeda. Selang beberapa lama, kami pun sudah keluar dari alun-alun kota dan sudah sampai di daerah rumah Via. Aku mencoba mengingat rumah yang Via dan kakaknya tinggal. "Vill, sebentar. Sebenarnya kita mau menemui siapa sih." Tanya Kian sedikit penasaran. Akupun langsung mencoba menjelaskan mengapa aku harus membawa Kian tanpa memberitahukan kepadanya dahulu. "Maaf Kian, sebenarnya aku penasaran dengan gadis yang kita temui saat kita membeli peralatan di toko 'Drawing." Jawabku dengan tenang. "Yang mana?, Aku nggak lihat?" Kian penasaran. "Ya sudah, nanti kamu lihat saja sendiri." Jawabku. "Oh, pantas baru-baru ini kamu sering melamun." Kian menyelidiku. "Emm, Iya sih." Aku sedikit tersipu. "Tapi, bukan itu saja. Saat di toko kemarin, pensil miliknya dia ketinggalan. Jadi aku mau memberikan kepadanya.". Saat ditoko kemarin, dia memegang dua pensil, dan yang aku kembalikan hanya satu buah. Aku lupa memberikan satunya karena aku terpesona dengan dia. "Emm, ya sudah. Kita berikan saja. Tapi, apa tidak apa memberikan langsung kerumahnya?" Kian ragu dengan keluarganya. "Yah, mudahan saja.". Kamipun menemukan rumah Via, karena aku ingat di samping rumahnya terdapat sungai. Entah mengapa, jantung ku berdetak tidak biasanya. Begitu juga Kian, harap cemas sekaligus takut dengan mengira keluarga Via yang menyeramkan. Kami memarkirkan sepeda di halaman rumah via. Diam dan tenang saat mendekat ke pintu rumah Via. Menaiki anak tangga kayu teras dengan hati-hati. Aku mengetuk pintu dengan perlahan. "tok tok". Menunggu, menunggu, dan tak ada jawaban, aku mengetuk kedua kalinya dengan agak keras, "tok tok tok". Bunyi langkah kaki dari dalam perlahan mendekat kearah pintu. Kami pun agak gelisah. bunyi kunci pintu terdengar. Pintu pun perlahan terbuka sedikit-demi sedikit melebar. Aku terkaget bersamaan dengan Kian. Yang membuka pintu ternyata si Via, bukan dari keluarganya. "Selamat datang kakak." Kata Via dengan senyum yang menawan.
To be continued...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar