Selasa, 27 Mei 2014

Sesuatu Yang Tak Wajar Datang Ke Arah Ku (Part 4)



Greenharp, Itulah nama kota ini. Green yang berarti "hijau", sedangkan Harp diambil dari nama seseorang, yaitu "Erwin Harpin". Dialah yang membuat motto 'Think Outside' dan menjadikan kota ini bersih dan asri. Sekaligus walikota pertama di Greenharp. Kota kecil yang aku tinggali dari kecil hingga dewasa. Terkenal dengan kehijauannya. Kota yang tenang dan damai. Walau populasinya sedikit, kota ini cukup terkenal di negeri ini. Rata-rata orang berpergian menggunakan sepeda, bahkan dengan berjalan kaki sekalipun. Jarang orang menggunakan kendaraan berasap, karena udara disini sangat sejuk dan bersih. Aku sudah cukup hafal daerah-daerah yang sepi hingga ramai. Salah satunya taman di balik bukit itu yang termasuk wisata cukup ramai apabila dihari libur. Masyarakat di kota ini juga ramah dan baik. Bahkan tidak ada satu berita yang mengenai tindak kriminal di kota ini. Sebab orang tua sudah mengajarkan kepada anak-anaknya sejak kecil untuk berbuat jujur. Pria disini sangat tampan-tampan, dan gadis-gadis disini juga sangat cantik dan manis. Termasuk gadis yang bernama Via. Gadis yang cantik dan menawan hatiku. Pertemuan yang singkat saat di sebuah toko lukis. 
 Aku sudah terpana melihat gadis yang bernama Via itu sejak pertama kali kulihat. Anggun dan cantik, tidak ada gadis yang bikin aku jatuh cinta selain dia. Entah kenapa, aku penasaran dengan Via hingga ku hampiri rumahnya bersama dengan Kian sahabatku. 

Aku masih terdiam dan terpana melihat dia membukakan pintu dengan senyuman yang menawan. "Kakak?!" Tanya Via. Aku masih tidak mampu untuk membuka mulutku. Aku mencoba untuk membukanya, "Aa... !" Jegleekk!!. Suaraku terputus dengan adanya suara pintu tertutup. Via menutup pintu dengan keras. "Aaa... ah!". Aku kecewa tidak bisa bicara  dengan lancar karena gadis itu membuatku jadi gugup. Disamping ku, Kian membisu seribu bahasa karena baru pertama kali melihat sosok malaikat yang cantik seperti Via. "Vil, itu gadis yang kamu sebut kah?. Cantik Vil, pantas kamu tertarik sama dia." Kata Kian sambil menyikutku. "Emm... iya. Itu yang namanya Via. udah tau kan?" Jawabku. "Iya, sudah tau. Tapi ada yang aneh dengan dia. Kenapa dia kok nggak merasa kita ada disini ya.". "Dia tuna netra. Jelas dia nggak bisa melihat kita.". "Oh... gitu rupanya" Kian pun baru menyadari Via sebenarnya tidak bisa melihat. "ya sudah. Aku coba mengetuk pintunya lagi". Aku pun mencoba untuk kedua kalinya. "Tok tok tok...!". Aku menunggu dan menunggu. Tak lama suara langkah kaki terdengar lagi dan menuju ke arah pintu. Aku dan Kian kembali gugup. Tapi pintu tidak juga terbuka. Tak lama kemudian terdengan suara dari dalam. "Maaf..., Siapa ya?"Tanya orang didalam. "Ma... maaf mengganggu. Saya mau mengembalikan pensil yang tertinggal di toko 'Drawing. Kalau nggak salah alamat orang yang membelinya disini." Jawabku dengan alasan yang jelas walau sedikit ada kebohongan soal alamat. "Emm, sebentar ya.". Entah kenapa orang yang dibalik pintu itu percaya dengan alasanku. Terdengar kembali suara kunci untuk membuka pintu. Kami semakin merasakan ketakutan jika yang membuka pintu adalah anggota keluarganya. Pintu perlahan terbuka. Dan ternyata... Via yang membukanya kembali "Maaf...,?"  Tanya Via. Aku pun cepat-cepat membuka mulut dan memulai percakapan dengan dia. "permisi, anda yang bernama Via." Kataku sambil gugup. "Iya, maaf. Kalau boleh tahu siapa ya?" Tanya Via. "Aku Villa dan yang bersamaku sekarang namanya Kian". "Salam kenal." Kata Kian sok akrab. "Iya salam kenal." Suara yang begitu indah kudengar. "Oh ya, ini pensilnya yang ketinggalan." Aku memberikan pensilnya ke tangan Via yang sudah siap menerimannya. "Iya terima kasih.". Aku pun tanpa sengaja menyentuh tangan Via yang begitu putih dan bersih. Tanpa aku sadari aku melihat papan nama di dinding luar rumah Via yang bernama "Dr. Wendic Braham". Aku pernah ingat nama itu. Nama yang tidak asing di telingaku. Aku berfikir sebentar untuk mengingat nama itu. Dan... Oh ya, beliau adalah tokoh besar yang ada di kota ini. Dia adalah dokter yang berjasa memberikan obat-obatan kepada ratusan rakyat miskin yang terkena penyakit kulit. Memberikan dengan sukarelawan. Tidak ada dokter yang baik hati seperti beliau yang membatu dengan cara tanpa dibayar. Aku sudah membaca artikel-artikel yang memuatnya saat diperpustakaan. Tapi sayangnya, beliau meninggal setahun yang lalu dikarenakan kecelakaan. Aku berfikir lagi, apakah Via adalah keluarga dari Dr. Wendic itu?.
Selang  beberapa menit, aku dikejutkan dengan suara asing yang berada agak jauh dibelakangku. "Ada apa kalian datang kerumah kami?" Tanyanya. Aku melihat kebelakang dan tersentak melihat kakaknya Via datang dengan membawa bungkusan di tangannya. "Kalian mau apa kesini?." Tanyanya lagi. "Emm..., kami mau mengembalikan pensil ini ke Via. Dan sekalian pengen tau rumah dokter Wendic. Kami mau buat refrensi mengenai beliau." Kataku dengan alasan agar bisa melihat Via lebih lama. "kalian dari mana?". "Kami dari universitas negeri di kota ini.". "Baiklah. Ini sudah mulai malam. sebaiknya kita masuk dulu dan bicara di dalam sambil makan malam. Akan ku beritahu tentang Dr. Wendic, Jarang kita mendapatkan tamu". "Emm... baiklah." Aku dan Kian menerima tawaran kakaknya Via agar bisa lebih mengetahui tentang Via.

"Silahkan, tak perlu sungkan. Aku tahu kalian orang baik-baik." Katanya sambil mempersilahkan kami masuk. Kami pun masuk kerumah. berjalan di lorong dan melihat sekitar. perabotan yang unik dan sangat artistik. Saat aku masuk ke ruangan yang cukup besar. Aku melihat banyak sekali rak dengan berisi buku-buku. Mulai dari buku panduan sampai buku ilmu kedokteran. "Silahkan tunggu sebentar. saya menyiapkan makan malam dahulu". "Iy... iya. maaf merepotkan". Kataku bersamaan dengan Kian. Rumahnya sangat sederhana. Dan udara sekitar sini sangat sejuk. ventilasi yang banyak sangat memudahkan sirkulasi udara menjadi stabil di dalam rumah ini. Aku melihat Via di depan perapian sedang mencoba melukis sesuatu. aku menghampirinya dan melihat gambar yang Via lukis. Entah mengapa aku merasa iba melihat dia. Menggambar dengan tangan yang putih dan indah, tapi tidak bisa melihat hasil yang dia lukiskan. Rasanya, aku ingin memberikan mataku ini untuk dia, agar dia bisa melihat semua hasil karyanya. Hasil dari lukisannya dia pajang di dinding ruangan kecil khusus buat lukisan. Aku pun mendekati Via. "Sedang melukis apa Via?" aku bertanya dengan gugup. "Ah... Aku mencoba melukis Danau". "Oh... danau yang dimana ya?". "Danau luas yang dibalik bukit." ."oh yang itu..." Aku pura-pura tidak tahu. "iya" dia jawab seadanya. Aku liat Via sangat hafal dengan tinta warna mana yang perlu di goreskan oleh penanya. Tapi gambarnya sangat kurang dibanding lukisan-lukisan yang dahulu.


"Ayo, makanan sudah siap." Kakak Via mencoba memanggil kita. Aku dan Kian segera menuju ke dapur. Via juga berhenti melukis dan bergegas pergi ke dapur. Kami pun duduk bersamaan. Meja makan penuh dengan makanan enak yang di hidangkan. Seperti omelette dan chicken rice. Makanan penutupnya ada puding dan ice cream. "Wow... makanannya enak semua ya." Kata ku bersamaan dengan Kian. "Iya, silahkan di makan ya." Kata Kakaknya Via dengan senyum. Kami makan dengan lahap, karena kita juga sedang kelaparan. Di depan saya, Via makan dengan tenang. Sangat menawan dia sedang makan. Wajahnya yang bundar dengan kepolosannya yang menentramkan hatiku. Saat Kian memasukan makanan ke dalam mulutnya, dia melihatku sedang manatap dan melamun Via yang ada didepannya. Dia segera menyikutku dan aku terkaget. Kakaknya Via tiba-tiba melihat kita berdua. Kami pun terdiam seolah tidak terjadi apa-apa. "Gimana masakannya. Enak?" Tanyanya kepada kita. "Ee... Enak. Makanan yang enak yang pernah aku makan." Kataku sambil tersenyum. "Syukurlah. Oh ya, kalian kesini mau minta refrensi mengenai dokter Wendic ya?". "Iya kak. Kami mau mencari tau tentang semuanya mengenai dokter Wendic". "Ok. Aku jelaskan sambil makan tidak apa ya?". "Tidak apa kak". Kami pun berbincang banyak mengenai dokter Wendic. Yang berasal dari kaum bangsawan dengan 2 bersaudara. Sambil makan, kami juga mendengarkan penjelasan dari kakaknya Via bahwa Dokter Wendic dapat gelar Sarjana pada umur 16 tahun. Dia orang yang sangat pintar dan sangat menghargai orang. Dia menikah pada umur 24 tahun dengan teman sekolahnya yang bernama Arrum di saat sekolah menengah. Setelah menikah 5 tahun kemudian Via lahir dengan sehat. Kami berdua tertegun melihat penjelasan dari kakaknya Via, walau sesekali mencuri waktu untuk bisa melihat Via. 

Tak terasa waktu sudah larut. Dua jam Aku dan Kian mendengarkan penjelasan dari kakaknya Via. Kami merasa cukup puas. Via dari tadi sudah kembali ke kamarnya. "Gimana, penjelasannya apa masih kurang?" Tanya Kakak Via sambil tersenyum. "Sudah cukup Kak. Kami merasa puas." Kata ku sambil tersenyum. Kami beranjak dari kursi kami. "Sudah mulai larut kak. terima kasih atas jamuan dan penjelasannya.". "Iya, nggak apa. Kami juga senang ada tamu, apalagi yang datang demi ilmu pengetahuan." Kata kakak Via sambil memuji kita. "Iya kak. Oh ya, apa kakak dan Via tinggal berdua saja?". "Emm... Iya. Kami tinggal berdua saja.". "Oh..., tadi pas saat terakhir dari penjelasan kakak. Dokter Wendic meninggal karena kecelakaan dalam perjalanan". "Iya.".Kian disampingku melihat dengan tertegun saat melihat Aku bertanya dengan Kakaknya Via. "Sebelum pulang kami mau bertanya, apa itu yang menyebabkan Via tidak bisa melihat?" Aku pun spontan dan menerka-nerka bertanya kepada kakaknya Via. Sebab di akhir percakapan tadi Via dalam perjalanan bersama orang tunya. Dan menyebutkan kalau yang selamat dari insiden itu hanya Via. 


Aku penasaran apa benar yang menyebabkan Via tidak bisa melihat atau Tuna Netra disebabkan insiden itu? atau karena disebabkan hal yang lain? 


        

To be Continued...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar