Semua tertegun dan terdiam dalam lamunan suara dentingan angin malam. Nampak bintang-bintang di langit berkumpul dalam satu periode untuk menerangi alam. Binatang malam keluar mencari makan untuk kelangsungan hidup keluarganya. Suara serangga malam saling bersahut-sahutan dengan merdunya.
Kami pulang dengan di iringi cahaya sinar bulan. Aku dan Kian berjalan menuju rumah masing-masing tanpa ada sepatah kata diperjalanan pulang. Kami berpisah di saat jalan dengan simpang tiga depan toko sepatu. "Kian, terima kasih ya sudah menemaniku, maaf ya sampai selarut ini kita baru pulang." Kataku sambil tersenyum ke Kian. "Iya Vil. Tak apa. Kita kan juga sudah biasa pulang agak malam seperti ini."Jawab Kian. "Ok Kian, hati-hati ya. Sampai ketemu lagi besok.". "Iya Vil, kamu juga hati-hati.". Kian pun pergi ke arah berlawanan pulang. Aku menuju rumah ku dengan ditemani oleh kesunyian dan lampu jalan kota. Kulihat satu persatu toko sudah mulai tutup. Kulewati berbagai macam toko, penginapan, dan restoran yang ada di kota ini. Sangat terang dengan desain arsitektur yang indah dan hiasan-hiasan lampu yang cantik tertata rapi pada malam hari. Hanya pada malam hari saja kota ini sangat terang dan indah.
Saat ku lewati restoran "D'mezort", restoran yang paling terkenal di kota ini. Aku melihat ada seorang wanita yang di usir dari restoran tersebut sambil mabuk. "Pergi, kami mau tutup." Sambil marah orang itu dan menutup pintu. "Ahh..., aku hanya ingin minum di dalam." Teriak wanita itu sambil menangis. aku terdiam dan kaget melihat wanita itu yang terduduk di depan pintu yang nggak jauh dari arah ku. Ternyata dia adalah dosen Stella, satu pekerjaan di Universitas tempat ku kerja. Aku menghampirinya sambil mengangkatnya dia berdiri. "Stella, ada apa denganmu? sampai kamu mabuk?" Tanya ku. "Oh..., ternyata kamu Villa. Pria yang paling cerdas dan pintar." Kata Stella sambil mabuk. "Ayo kita pulang. Tidak baik kalau kamu belum pulang jam segini.". Dia sangat mabuk berat. Jalan pun dia tidak bisa. Tanpa basa-basi, aku menggendong Stella sampai kerumahnya. Dalam perjalanan Stella berbicara tidak jelas dan aku hanya bisa mendengarkan. "aku bingung sama pelayan tadi, aku hanya ingin duduk sambil minum kenapa aku di usir. padahal aku kan bayar." kata Stella dengan manjanya sambil memelukku dibelakang. "Mungkin karena restorannya sudah tutup, kamu masih aja disitu. pekerja disana sudah mau pulang, jadinya ya kamu di usir." Jawabku. "Tapi kan nggak gitu juga. Sampai di usir.". "hhh... memang kenapa sih kamu sampai mabuk gitu. Biasanya kamu nggak pernah seperti ini." Aku bertanya ke Stella. "Hiks... Aku bingung soal perjodohan Ku Vil, kamu tau aku kan. Setiap waktu aku di jodohkan oleh Orangtua ku. Tapi aku nggak mau dan nggak tau asal-usul orang yang di jodohkan itu. Entah dia baik sama aku tapi dengan Keluargaku tidak. Entah dia orang kaya, tapi tidak ada hati yang baik. Kan percuma Vil. Aku maunya yang sederhana dan akupun apa adanya dengan dia. Asal dia mau apa adanya denganku. lagian kamu tau kan umur ku berapa?". "emm... Tau.". Dalam hatiku yang terdalam, sebenarnya aku nggak tau umurnya Stella berapa. "Nah... umur ku sudah 27 tahun, dan sekarang belum ada pasangan yang cocok denganku." Kata Stella sambil menangis. Aku bingung mau bicara apa dengan dia. Hanya diam dan keheningan dalam perjalanan.
Tak terasa kami sudah dekat dengan rumah Stella yang hanya jarak 10 meter dari arah kami jalan. Tiba-tiba Stella minta aku berhenti. "Ada apa Stell, itu rumahmu kan. sudah dekat kok." Kataku bingung. "Aku nggak mau pulang. Bisa kah kamu temanin aku ngobrol dulu ditaman?" Kata Stella sambil memegang tanganku. "Emm... Kamu wanita Stella. Nggak baik kalau kamu masih ada diluar selarut malam seperti ini.". "Tapi kan, ada kamu kalau aku terjadi apa-apa." Jawabnya sambil senyum manja ke arahku. Dengan wajahnya yang polos aku pun tersipu malu saat dia memberikan senyuman ke arahku. Wajah yang cantik dan menawan. Aku tidak bisa menolak apa keinginan dari wanita. "Emm... baiklah. Tapi sebentar aja ya. Karena ini sudah larut malam." Kataku. "Ok." Stella tersenyum. Kami pergi ke taman yang tidak jauh dari rumah Stella. Kulihat ada kursi memanjang yang terbuat dari kayu berada di depan kita. Aku menawarkan Stella untuk duduk dan bercerita di kursi itu. Kami duduk bersamaan. Angin malam mulai dingin. Untung di saat aku pergi, aku memakai jaket. Aku buka dan kuberikan ke Stella agar dia tidak kedinginan. "Makasih Vil." Kata Stella. "Iya." Jawabku. Beberapa saat kami terdiam. Kami duduk sangat dekat. Stella kadang mencari waktu dengan memandangku, tapi aku hanya bisa terdiam seakan tidak tahu. Walau malam dengan cuaca dingin, Keringat di tubuhku seakan keluar dengan ditemani oleh kegugupanku. Tiba-tiba Stella memulai percakapan. "Vil, Tadi kamu dari mana. Sampai larut malam gini masih di kota?" Tanya Stella. "Oh, A.. Aku dari rumah teman. Ada yang mau di urus." Jawab ku."Oh." Balasnya. Entah kenapa tiba-tiba aku gugup. Aku mencoba menarik nafas untuk bisa menenangkan hatiku. "Soal yang dijodohkan itu. Apa kamu sudah bilang ke Orangtua mu kalau kamu nggak suka di jodohkan?" Tanyaku dengan lancar. "Sudah Vil, tapi kamu tau lah orangtua seperti apa. Maunya kata-kata mereka harus di turuti. Lah aku tau semua orang-orang yang dijodohkan dengan aku seperti apa. Anak pengusaha dan orang kaya. Meskipun aku anak orang yang berada dan anak satu-satunya". "Oh..., Makannya kamu nggak mau di jodohkan.". "Iya Vil. Dirumah aku sangat tertekan. Selalu aja seperti itu.". Tiba-tiba aku melihat Stella meneteskan air mata. Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku tidak tahu cara menghibur hati wanita. Aku meihat baju dengan lengan panjang yang ku kenakan ini. Aku husap air mata Stella dengan ujung lengan baju ku. Dia terus terhisak-hisak. Dan aku terus menghusap air mata yang jatuh dari mata Stella. Aku terkaget saat dia menoleh ke arahku. Aku tertegun liat wajahnya yang rupawan. Dengan mata berkaca-kaca dan penuh sendu, Stella berkata perlahan. "Vil, kamu mau bawa aku pergi dari rumah?". Aku tersentak kaget mendengar Stella berkata seperti itu denganku. Apa dia sangat depresi hingga dia bisa berbicara seperti itu?. Aku bingung dibuatnya. "Emm... Aku tidak tahu harus ngomong apa." Kataku sambil menoleh ke kanan dan ke kiri. "Cukup bawa aku keluar dari rumahku." Jawabnya sambil memandangku. "Eem... Gimana ya." Aku bingung sambil memandang kedepan. Stella Tersenyum melihatku. "Lupakan Villa, Aku hanya bercanda." Katanya sambil tersenyum dengan manis. Aku pun dibuat malu olehnya. Aku hanya bisa diam dan diam. Kami berbincang cukup lama. Memang, Stella wanita yang manis dan anggun. Stella lahir dari keluarga yang berada. Anak Satu-satunya dari keluarga tuan Braham Gin. Pengusaha dari pabrik plastik yang ada di kota ini. Stella sedikit mempunyai teman. Keluarganya ingin ada penerus dalam melanjutkan usaha dari keluarga Braham. Maka dari itu, keluarganya ingin menjodohkannya kepada pemuda pilihan orangtuanya. Tapi bagiku, Stella hanya teman bukan lebih dari itu. Dihatiku hanya ada seorang gadis yang bernama Via, bukanlah Stella.
Waktu terus berjalan. "Mari, kita pulang. Aku sudah mulai ngantuk... hhooam." Kata Stella sambil beranjak berdiri. "Ayo, lagian sudah terlalu larut. Ga baik buatmu." Jawabku sambil berjalan terlebih dahulu. Kami meninggalkan taman. "Sebenarnya tadi serius Villa." Bisik Stella agak jauh di belakangku. "Hah, ada apa Stella?" Tanya ku sambil menoleh ke arahnya. "Tidak, tidak apa. Aku hanya bergumam.". "Oh... ya sudah.". Kami tiba di depan rumah Stella. Sebelum aku pergi, stella berterima kasih dengan ku sekali lagi karena telah menghibur dan menemaninya hingga pulang. Aku pun pamit pergi meninggalkan rumahnya. Dia melambaikan tangannya saat aku pergi jauh meninggalkannya. Aku bergegas pulang menuju rumah.
Sesampai dirumah, keluargaku sudah tidur semua. Aku melangkah ke arah kamar ku dan menghempaskan tubuhku di kasur yang lembut itu. "hah... Hari yang melelahkan." Gumamku sendiri. perjalanan yang menyita banyak waktu. Saat dari rumah Via, hingga mengantar Stella pulang. Aku tahu apa yang dikatakan oleh stella saat setelah dari taman. Dan aku hanya berpura tidak tahu agar tidak menambah masalah yang ada. Semua hanya terlintas cepat begitu saja di depanku. Aku juga mengingat saat sebelum aku pulang dari rumah Via. Ternyata, yang menyebabkan Via tidak bisa melihat disebabkan kecelakaan waktu itu. Yang membuat dia buta. Aku hanya bisa merasakan betapa sengsaranya dia. Tidak bisa menikmati lagi keindahan alam yang di ciptakan oleh tuhan. Aku merasa iba dengannya. Aku ingin membuat dia bahagia walau hanya sebentar saja.
Oh tuhan, apa yang harus aku lakukan dengan mereka?
To be continued...
Tak terasa kami sudah dekat dengan rumah Stella yang hanya jarak 10 meter dari arah kami jalan. Tiba-tiba Stella minta aku berhenti. "Ada apa Stell, itu rumahmu kan. sudah dekat kok." Kataku bingung. "Aku nggak mau pulang. Bisa kah kamu temanin aku ngobrol dulu ditaman?" Kata Stella sambil memegang tanganku. "Emm... Kamu wanita Stella. Nggak baik kalau kamu masih ada diluar selarut malam seperti ini.". "Tapi kan, ada kamu kalau aku terjadi apa-apa." Jawabnya sambil senyum manja ke arahku. Dengan wajahnya yang polos aku pun tersipu malu saat dia memberikan senyuman ke arahku. Wajah yang cantik dan menawan. Aku tidak bisa menolak apa keinginan dari wanita. "Emm... baiklah. Tapi sebentar aja ya. Karena ini sudah larut malam." Kataku. "Ok." Stella tersenyum. Kami pergi ke taman yang tidak jauh dari rumah Stella. Kulihat ada kursi memanjang yang terbuat dari kayu berada di depan kita. Aku menawarkan Stella untuk duduk dan bercerita di kursi itu. Kami duduk bersamaan. Angin malam mulai dingin. Untung di saat aku pergi, aku memakai jaket. Aku buka dan kuberikan ke Stella agar dia tidak kedinginan. "Makasih Vil." Kata Stella. "Iya." Jawabku. Beberapa saat kami terdiam. Kami duduk sangat dekat. Stella kadang mencari waktu dengan memandangku, tapi aku hanya bisa terdiam seakan tidak tahu. Walau malam dengan cuaca dingin, Keringat di tubuhku seakan keluar dengan ditemani oleh kegugupanku. Tiba-tiba Stella memulai percakapan. "Vil, Tadi kamu dari mana. Sampai larut malam gini masih di kota?" Tanya Stella. "Oh, A.. Aku dari rumah teman. Ada yang mau di urus." Jawab ku."Oh." Balasnya. Entah kenapa tiba-tiba aku gugup. Aku mencoba menarik nafas untuk bisa menenangkan hatiku. "Soal yang dijodohkan itu. Apa kamu sudah bilang ke Orangtua mu kalau kamu nggak suka di jodohkan?" Tanyaku dengan lancar. "Sudah Vil, tapi kamu tau lah orangtua seperti apa. Maunya kata-kata mereka harus di turuti. Lah aku tau semua orang-orang yang dijodohkan dengan aku seperti apa. Anak pengusaha dan orang kaya. Meskipun aku anak orang yang berada dan anak satu-satunya". "Oh..., Makannya kamu nggak mau di jodohkan.". "Iya Vil. Dirumah aku sangat tertekan. Selalu aja seperti itu.". Tiba-tiba aku melihat Stella meneteskan air mata. Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku tidak tahu cara menghibur hati wanita. Aku meihat baju dengan lengan panjang yang ku kenakan ini. Aku husap air mata Stella dengan ujung lengan baju ku. Dia terus terhisak-hisak. Dan aku terus menghusap air mata yang jatuh dari mata Stella. Aku terkaget saat dia menoleh ke arahku. Aku tertegun liat wajahnya yang rupawan. Dengan mata berkaca-kaca dan penuh sendu, Stella berkata perlahan. "Vil, kamu mau bawa aku pergi dari rumah?". Aku tersentak kaget mendengar Stella berkata seperti itu denganku. Apa dia sangat depresi hingga dia bisa berbicara seperti itu?. Aku bingung dibuatnya. "Emm... Aku tidak tahu harus ngomong apa." Kataku sambil menoleh ke kanan dan ke kiri. "Cukup bawa aku keluar dari rumahku." Jawabnya sambil memandangku. "Eem... Gimana ya." Aku bingung sambil memandang kedepan. Stella Tersenyum melihatku. "Lupakan Villa, Aku hanya bercanda." Katanya sambil tersenyum dengan manis. Aku pun dibuat malu olehnya. Aku hanya bisa diam dan diam. Kami berbincang cukup lama. Memang, Stella wanita yang manis dan anggun. Stella lahir dari keluarga yang berada. Anak Satu-satunya dari keluarga tuan Braham Gin. Pengusaha dari pabrik plastik yang ada di kota ini. Stella sedikit mempunyai teman. Keluarganya ingin ada penerus dalam melanjutkan usaha dari keluarga Braham. Maka dari itu, keluarganya ingin menjodohkannya kepada pemuda pilihan orangtuanya. Tapi bagiku, Stella hanya teman bukan lebih dari itu. Dihatiku hanya ada seorang gadis yang bernama Via, bukanlah Stella. Waktu terus berjalan. "Mari, kita pulang. Aku sudah mulai ngantuk... hhooam." Kata Stella sambil beranjak berdiri. "Ayo, lagian sudah terlalu larut. Ga baik buatmu." Jawabku sambil berjalan terlebih dahulu. Kami meninggalkan taman. "Sebenarnya tadi serius Villa." Bisik Stella agak jauh di belakangku. "Hah, ada apa Stella?" Tanya ku sambil menoleh ke arahnya. "Tidak, tidak apa. Aku hanya bergumam.". "Oh... ya sudah.". Kami tiba di depan rumah Stella. Sebelum aku pergi, stella berterima kasih dengan ku sekali lagi karena telah menghibur dan menemaninya hingga pulang. Aku pun pamit pergi meninggalkan rumahnya. Dia melambaikan tangannya saat aku pergi jauh meninggalkannya. Aku bergegas pulang menuju rumah.
Sesampai dirumah, keluargaku sudah tidur semua. Aku melangkah ke arah kamar ku dan menghempaskan tubuhku di kasur yang lembut itu. "hah... Hari yang melelahkan." Gumamku sendiri. perjalanan yang menyita banyak waktu. Saat dari rumah Via, hingga mengantar Stella pulang. Aku tahu apa yang dikatakan oleh stella saat setelah dari taman. Dan aku hanya berpura tidak tahu agar tidak menambah masalah yang ada. Semua hanya terlintas cepat begitu saja di depanku. Aku juga mengingat saat sebelum aku pulang dari rumah Via. Ternyata, yang menyebabkan Via tidak bisa melihat disebabkan kecelakaan waktu itu. Yang membuat dia buta. Aku hanya bisa merasakan betapa sengsaranya dia. Tidak bisa menikmati lagi keindahan alam yang di ciptakan oleh tuhan. Aku merasa iba dengannya. Aku ingin membuat dia bahagia walau hanya sebentar saja.
Oh tuhan, apa yang harus aku lakukan dengan mereka?
To be continued...


Tidak ada komentar:
Posting Komentar