Senin, 16 Juni 2014

Sesuatu Yang Tak Wajar Datang Ke Arah Ku (part 6)

Aku adalah aku. Bukanlah orang lain, melainkan diriku yang penuh dengan masalah. Hari dimana aku memulai seperti biasanya dan orang-orang memulai beraktifitas. Bangun pagi-pagi untuk memberi kabar kepada dunia. Dengan ditemani rasa kantuk yang masih ada dan hawa dingin yang menusuk-nusuk tulang rusukku di pagi hari. Aku bergegas mencari rezeki untuk diriku dan juga keluargaku. Berita cuaca mengatakan hari ini akan hujan di siang hari sedangkan saat pagi ini awan mulai berkumpul dilangit dan munutup cahaya matahari yang menyinari bumi menjadi gelap. Aku dapat jadwal mengajar pada jam 11 pagi. Setelah aku pergi mengantar koran, aku lanjutkan mengajarku di kampus. tepat jam 11 aku masuk dan kami belajar dengan fokus. Aku menerangkan arti dari Kinematika. Kinematika adalah ilmu yang mempelajari pergerakan dari suatu benda dan sistem, tanpa mempedulikan gaya yang menyebabkan pergerakan itu. Osilasi dari piston dalam mesin adalah salah satu contoh sistem kinematika sederhana. Para insinyur teknik mesin menggunakan teknik kinematika untuk mendesain dan menganalisis mekanisme. Saat aku mengajar aku mencoba melihat ke arah para mahasiswa, bagaimana reaksi mereka disaat aku mengajar. Tanpa disengaja aku lihat Kiantira duduk di atas dua dari belakang pojok kanan. Dia melambaikan tangan ke arahku dan aku terdiam. Aku hanya tersenyum melihatnya. Aku menerangkan dengan gaya Albert Einstein dan memberikan kata mutiara kepada para mahasiswa saat bel berbunyi, yaitu "Orang yang tidak melakukan kesalahan adalah orang yang tidak pernah mencoba hal yang baru". 

Seusai pelajaran Kian menghampiri aku. "Metode mengajarmu tidak berubah Vil. Selalu seperti biasanya" Kata Kian. "Ya mau gimana lagi Kian. Itu metode mengajarku. Tumben kamu ikut pelajaranku. biasanya nggak pernah." Tanya ku ke Kian. "Iya, Habisnya aku lagi nggak ada kerjaan di pabrik, jadi ya aku mampir kesini, sekalian mau lihat bu Stella" Kian malu-malu. Kian bukanlah mahasiswa di universitas ini. Biasanya Kian kalau ada perlu dia ikut pelajaran saat aku mengajar. Ternyata dia ingin mau bertemu dengan bu Stella. "Apa kamu ingin bertemu dengan bu Stella, Kian?" Tanya ku. "Emm... Nggak usah, mau lihat aja. hehe." tawanya. Kami pergi ke cafetaira untuk makan siang. Kami memesan makanan ringan. Roti isi 2, kentang goreng, dan dua gelas es susu. Perutku sudah mulai lapar. Aku makan terlebih dahulu dari si Kian. Saat aku mulai membuka mulut dan memulai makan roti isi, tiba-tiba dosen Stella mengagetkan aku dari belakang. "Villa... Pelan-pelan makannya" Dengan nada gemes dosen Stella mengagetkanku. "Ah... Bu Stella. Jangan mengagetkan gitu dong bu. Ntar aku makan keselek lagi." Kataku dengan sedikit kecewa. "Haha... iya maaf Vil, maaf. Aku boleh gabung ga?" Tanyanya sambil menoleh ke arahku dan Kian. "Boleh aja, kami juga ga sibuk. Iya kan Kian?" Kataku sambil tanya ke Kian. "Iii.. iya, nggak apa-apa kok. silahkan aja" Jawab Kian sambil melamun ke arah bu Stella. "Ok lah. aku duduk." Kata Stella sambil duduk. Aku liat menu Bu Stella hari ini adalah menu diet. Hanya sayur-sayuran dan buah-buahan. "Bu Stella, apa ibu diet hari ini?" Tanya ku. "Oh... iya. hari ini aku diet. Aku mau buat tubuhku ideal." Kata Stella. "Oh ya, jangan panggil ibu dong Vil, aku merasa sudah tua kalau di panggil ibu.". "Emm... biar sopan sih. Tapi ya kalau maunya bu, eh... Stella ya sudah. oh ya, ini Kian... Ibu sudah kenal?". "Oh, namaku Stella.". "oh ya, namaku Kiantira, panggil saja Kian". Merekapun berjabat tangan sebagai tanda perkenalan. "Tunggu, kamu yang sering berpergian sama Villa itu kan." selidik Stella. "Ii... iya, aku sering bersama dengan Villa, soalnya teman dekatnya cuma aku." Kata Kian. "Oh... teman dekatnya Villa." Kata Stella. "Iya, dia teman dekat ku dari kecil." Jawabku. Kami berbincang-bincang. Kian akhirnya bisa banyak mengobrol dengan Stella. Aku hanya bisa tersenyum melihatnya. 
Waktu terus berjalan, dosen Stella pamit untuk masuk mengajar. Aku dan Villa pergi ke cafetaria dan mampir ke perpustakaan. Kami mencari buku bacaan yang bisa menginspiriasi diriku. Aku membaca buku karya Khaled Hosseini. Bercerita tentang Amir, Seorang anak laki-laki dari distrik Wazir Akbar Khan dan sahabatnya Hassan. putra seorang pelayan Hazzara di rumahnya. Cerita berkisar seputar kekisruhan situasi pemerintahan di afghanistan dalam invasi uni soviet serta munculnya rezim teroris di afghanistan. Cerita yang sangat menyentuh dan sangat menginspirasi. Aku menoleh pandangan ke arah Kian, dia sedang asik mebaca buku yang di pegangnya.  Pada saat ku lihat-lihat tumpukan buku yang ada didepanku. Aku nggak sengaja melihat biodata mahasiswa disini 2 tahun yang lalu. Aku penasaran dan membuka buku itu dan melihat tumpukan foto-foto dari alumni. Tanpa sengaja aku melihat biodata dari Stella. Ternyata dia juga pernah kuliah disini di jurusan Sastra.
Aku panggil Kian dan dia menghampiriku. Aku beri dia fotonya, dan dia kaget melihat Stella yang masih muda dan cantik. Kian sangat gembira dan menyimpan foto itu secara diam-diam. Aku hanya bisa tersenyum melihat tingkahnya. 
Setelah dua jam di perpustakaan, kami pergi ke toko 'Drawing. saat aku ke perpustakaan aku meminjam buku karya Khaled Hosseini dan buku ilmu teknik mesin. Sesampai di toko 'Drawing Kian langsung pergi mencari apa yang di butuhkannya, sedangkan aku menunggu di luar karena yang kubutuhkan sudah ada. Tak lama kemudian Kian keluar dengan tergesa-gesa. Kliingg, "Hos hos... Ayo lari Vil, lari." Kian lelah dan menyuruhku lari. "hah... ada apa Kian?" Tanyaku. "ayo sudah lari.". Kami pun lari dan menjauh dari toko 'Drawing. "Woii,,, Kalian sialan. Merusak daganganku saja" Pemilik toko berhambur keluar. Aku dan Kian lari sekencangnya. "hos hos... Kenapa kita lari Kian. ada apa?" tanyaku sambil berlari di samping Kian. "hos... nanti aja ku jelaskan" Katanya Kian sambil terengah-engah. Setelah rasa kami sudah jauh dari toko 'Drawing, kami berhenti di taman dekat rumah Stella. "Ada apa Kian?" aku mulai bertanya lagi sambil mengambil nafas dalam-dalam. "Tadi aku tidak sengaja menumpahkan tinta di kertas kanvas putih di situ. Pas mau buka, penutupnya macet. Aku paksa dan akhirnya ya seperti itu. Tumpahannya banyak Vil, aku bingung. Kamu tau kan pemilik toko itu galak. Jadi ya aku langsung kabur. hehe... maaf ya" Kian menjelaskan penyebabnya sambil terkekeh. "hah... kamu tuh. Nanti ya kita nggak bisa beli barang disitu lagi Vil." Kataku sambil kecewa. "Tenang aja Vil, ntar aku minta maaf sama pemiliknya. Aku nggak bisa juga kalau mau melukis atau kekurangan nggak beli disitu. Pasti lah, toko mana lagi yang murah meriah selain disitu." Katanya sambil tersenyum. Aku hanya bisa menghela nafas aja. "Ya sudah kalau gitu. Yang menting minta maaf aja nanti" kataku sedikit lega. Tak lama kemudian Stella lewat di depan kami dan melihat kami sedang duduk penuh dengan keringat. "Loh, Kalian kenapa sampai berkeringat dan kalian sedang apa?" Tanyanya kaget melihat kami berkeringat. Aku menjelaskan bahwa aku tadi berolahraga dengan Kian sebentar, yah walau berbohong sedikit. Stella menanyai kami sehabis ini ada kegiatan apa. Kami bilang kami mau melukis di bukit sore nanti. Stella ingin bergabung dengan kita, dia juga ingin mengambil foto di area bukit. Stella bergegas ke rumah dan mengganti pakaian santainya. Setelah Stella berganti pakaian, kami pergi ke bukit hutan. Sebelum sampai ketujuan, Kami mampir kerumah Kian, lalu kami pergi ke rumahku untuk mengambil peralatan melukis. Stella baru pertama kali kerumah Kian dan juga baru pertama kali kerumahku. Dan kamipun pergi ke bukit. Disaat perjalanan Kian disampingku terlihat bahagia, karena Stella yang mungkin gadis impiannya ikut serta dalam kegiatan kami. Udara yang segar, angin yang sepoi-sepoi membuat kami tambah semangat. Aku dan Kian membuka peralatan melukis kita. Sedangkan Stella menyiapkan kameranya. "Vil, aku foto disebelah sana ya?" Kata Stella ke aku. "Iya, yang penting jangan sampai hilang ya" Candaku sambil tersenyum. Stella juga ikut tersenyum. "Iya". Aku dan Kian mencoba melukis. "Vil, enak kamu ya. Dekat sama Stella." Kata Kian menyelidiki. "Iya hanya teman aja Kian, nggak lebih" Jawabku. "Oh". Kami melanjutkan menggambar. Tema ku dengan orang-orang disekitar taman, sedangkan Kian bertema kan Stella yang sedang mengambil foto objeknya. Saat kami melukis, tiba-tiba ada orang yang memanggil kita dari arah samping kita. "Villa, Kian. Kalian sedang melukis apa?" Orang itu bertanya. Kami menoleh bersamaan kearah asal suara itu dan terkaget melihatnya. "Ka... kakaknya Via. Sedang apa disini?" kataku terbata-bata.
"Kami sedang jalan-jalan aja. Kami bosan dirumah." Jawab kakak Via. "Oh... Kami? Berarti Via ikut juga" Kataku selidik. "Iya, itu Via. Viaa... ini ada Villa dan Kian.". "Selamat sore kak Villa dan Kak Kian" Kata Via dengan suara lembutnya. "Se... selamat Sore Via" Jawabku. Ya tuhan, Via tambah cantik dengan gaun dress warna coklat ke merah-merahan. Rambutnya terurai gelombang. Apakah ini jodoh?
"Vil, Itu siapa?" Kata Stella tiba-tiba mendekat ke arah ku.



To be continued...  




Sabtu, 31 Mei 2014

Sesuatu Yang Tak Wajar Datang Ke Arah Ku (Part 5)

Semua tertegun dan terdiam dalam lamunan suara dentingan angin malam. Nampak bintang-bintang di langit berkumpul dalam satu periode untuk menerangi alam. Binatang malam keluar mencari makan untuk kelangsungan hidup keluarganya. Suara serangga malam saling bersahut-sahutan dengan merdunya.


Kami pulang dengan di iringi cahaya sinar bulan. Aku dan Kian berjalan menuju rumah masing-masing tanpa ada sepatah kata diperjalanan pulang. Kami berpisah di saat jalan dengan simpang tiga depan toko sepatu. "Kian, terima kasih ya sudah menemaniku, maaf ya sampai selarut ini kita baru pulang." Kataku sambil tersenyum ke Kian. "Iya Vil. Tak apa. Kita kan juga sudah biasa pulang agak malam seperti ini."Jawab Kian. "Ok Kian, hati-hati ya. Sampai ketemu lagi besok.". "Iya Vil, kamu juga hati-hati.". Kian pun pergi ke arah berlawanan pulang. Aku menuju rumah ku dengan ditemani oleh kesunyian dan lampu jalan kota. Kulihat satu persatu toko sudah mulai tutup. Kulewati berbagai macam toko, penginapan, dan restoran yang ada di kota ini. Sangat terang dengan desain arsitektur yang indah dan hiasan-hiasan lampu yang cantik tertata rapi pada malam hari. Hanya pada malam hari saja kota ini sangat terang dan indah. 


Saat ku lewati restoran "D'mezort", restoran yang paling terkenal di kota ini. Aku melihat ada seorang wanita yang di usir dari restoran tersebut sambil mabuk. "Pergi, kami mau tutup." Sambil marah orang itu dan menutup pintu. "Ahh..., aku hanya ingin minum di dalam." Teriak wanita itu sambil menangis. aku terdiam dan kaget melihat wanita itu yang terduduk di depan pintu yang nggak jauh dari arah ku. Ternyata dia adalah dosen Stella, satu pekerjaan di Universitas tempat ku kerja. Aku menghampirinya sambil mengangkatnya dia berdiri. "Stella, ada apa denganmu? sampai kamu mabuk?" Tanya ku. "Oh..., ternyata kamu Villa. Pria yang paling cerdas dan pintar." Kata Stella sambil mabuk. "Ayo kita pulang. Tidak baik kalau kamu belum pulang jam segini.". Dia sangat mabuk berat. Jalan pun dia tidak bisa. Tanpa basa-basi, aku menggendong Stella sampai kerumahnya. Dalam perjalanan Stella berbicara tidak jelas dan aku hanya bisa mendengarkan. "aku bingung sama pelayan tadi, aku hanya ingin duduk sambil minum kenapa aku di usir. padahal aku kan bayar." kata Stella dengan manjanya sambil memelukku dibelakang. "Mungkin karena restorannya sudah tutup, kamu masih aja disitu. pekerja disana sudah mau pulang, jadinya ya kamu di usir." Jawabku. "Tapi kan nggak gitu juga. Sampai di usir.". "hhh... memang kenapa sih kamu sampai mabuk gitu. Biasanya kamu nggak pernah seperti ini." Aku bertanya ke Stella. "Hiks... Aku bingung soal perjodohan Ku Vil, kamu tau aku kan. Setiap waktu aku di jodohkan oleh Orangtua ku. Tapi aku nggak mau dan nggak tau asal-usul orang yang di jodohkan itu. Entah dia baik sama aku tapi dengan Keluargaku tidak. Entah dia orang kaya, tapi tidak ada hati yang baik. Kan percuma Vil. Aku maunya yang sederhana dan akupun apa adanya dengan dia. Asal dia mau apa adanya denganku. lagian kamu tau kan umur ku berapa?". "emm... Tau.". Dalam hatiku yang terdalam, sebenarnya aku nggak tau umurnya Stella berapa. "Nah... umur ku sudah 27 tahun, dan sekarang belum ada pasangan yang cocok denganku." Kata Stella sambil menangis. Aku bingung mau bicara apa dengan dia. Hanya diam dan keheningan dalam perjalanan.

Tak terasa kami  sudah dekat dengan rumah Stella yang hanya jarak 10 meter dari arah kami jalan. Tiba-tiba Stella minta aku berhenti. "Ada apa Stell, itu rumahmu kan. sudah dekat kok." Kataku bingung. "Aku nggak mau pulang. Bisa kah kamu temanin aku ngobrol dulu ditaman?" Kata Stella sambil memegang tanganku. "Emm... Kamu wanita Stella. Nggak baik kalau kamu masih ada diluar selarut malam seperti ini.". "Tapi kan, ada kamu kalau aku terjadi apa-apa." Jawabnya sambil senyum manja ke arahku. Dengan wajahnya yang polos aku pun tersipu malu saat dia memberikan senyuman ke arahku. Wajah yang cantik dan menawan. Aku tidak bisa menolak apa keinginan dari wanita. "Emm... baiklah. Tapi sebentar aja ya. Karena ini sudah larut malam." Kataku. "Ok." Stella tersenyum. Kami pergi ke taman yang tidak jauh dari rumah Stella. Kulihat ada kursi memanjang yang terbuat dari kayu berada di depan kita. Aku menawarkan Stella untuk duduk dan bercerita di kursi itu. Kami duduk bersamaan. Angin malam mulai dingin. Untung di saat aku pergi, aku memakai jaket. Aku buka dan kuberikan ke Stella agar dia tidak kedinginan. "Makasih Vil." Kata Stella. "Iya." Jawabku. Beberapa saat kami terdiam. Kami duduk sangat dekat. Stella kadang mencari waktu dengan memandangku, tapi aku hanya bisa terdiam seakan tidak tahu. Walau malam dengan cuaca dingin, Keringat di tubuhku seakan keluar dengan ditemani oleh kegugupanku. Tiba-tiba Stella memulai percakapan. "Vil, Tadi kamu dari mana. Sampai larut malam gini masih di kota?" Tanya Stella. "Oh, A.. Aku dari rumah teman. Ada yang mau di urus." Jawab ku."Oh." Balasnya. Entah kenapa tiba-tiba aku gugup. Aku mencoba menarik nafas untuk bisa menenangkan hatiku. "Soal yang dijodohkan itu. Apa kamu sudah bilang ke Orangtua mu kalau kamu nggak suka di jodohkan?" Tanyaku dengan lancar. "Sudah Vil, tapi kamu tau lah orangtua seperti apa. Maunya kata-kata mereka harus di turuti. Lah aku tau semua orang-orang yang dijodohkan dengan aku seperti apa. Anak pengusaha dan orang kaya. Meskipun aku anak orang yang berada dan anak satu-satunya". "Oh..., Makannya kamu nggak mau di jodohkan.". "Iya Vil. Dirumah aku sangat tertekan. Selalu aja seperti itu.". Tiba-tiba aku melihat Stella meneteskan air mata. Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku tidak tahu cara menghibur hati wanita. Aku meihat baju dengan lengan panjang yang ku kenakan ini. Aku husap air mata Stella dengan ujung lengan baju ku. Dia terus terhisak-hisak. Dan aku terus menghusap air mata yang jatuh dari mata Stella. Aku terkaget saat dia menoleh ke arahku. Aku tertegun liat wajahnya yang rupawan. Dengan mata berkaca-kaca dan penuh sendu, Stella berkata perlahan. "Vil, kamu mau bawa aku pergi dari rumah?". Aku tersentak kaget mendengar Stella berkata seperti itu denganku. Apa dia sangat depresi hingga dia bisa berbicara seperti itu?. Aku bingung dibuatnya. "Emm... Aku tidak tahu harus ngomong apa." Kataku sambil menoleh ke kanan dan ke kiri. "Cukup bawa aku keluar dari rumahku." Jawabnya sambil memandangku. "Eem... Gimana ya." Aku bingung sambil memandang kedepan. Stella Tersenyum melihatku. "Lupakan Villa, Aku hanya bercanda." Katanya sambil tersenyum dengan manis. Aku pun dibuat malu olehnya. Aku hanya bisa diam dan diam. Kami berbincang cukup lama. Memang, Stella wanita yang manis dan anggun. Stella lahir dari keluarga yang berada. Anak Satu-satunya dari keluarga tuan Braham Gin. Pengusaha dari pabrik plastik yang ada di kota ini. Stella sedikit mempunyai teman. Keluarganya ingin ada penerus dalam melanjutkan usaha dari keluarga Braham. Maka dari itu, keluarganya ingin menjodohkannya kepada pemuda pilihan orangtuanya. Tapi bagiku, Stella hanya teman bukan lebih dari itu. Dihatiku hanya ada seorang gadis yang bernama Via, bukanlah Stella. 
Waktu terus berjalan. "Mari, kita pulang. Aku sudah mulai ngantuk... hhooam." Kata Stella sambil beranjak berdiri. "Ayo, lagian sudah terlalu larut. Ga baik buatmu." Jawabku sambil berjalan terlebih dahulu. Kami meninggalkan taman. "Sebenarnya tadi serius Villa." Bisik Stella agak jauh di belakangku. "Hah, ada apa Stella?" Tanya ku sambil menoleh ke arahnya. "Tidak, tidak apa. Aku hanya bergumam.". "Oh... ya sudah.". Kami tiba di depan rumah Stella. Sebelum aku pergi, stella berterima kasih dengan ku sekali lagi karena telah menghibur dan menemaninya hingga pulang. Aku pun pamit pergi meninggalkan rumahnya. Dia melambaikan tangannya saat aku pergi jauh meninggalkannya. Aku bergegas pulang menuju rumah. 

Sesampai dirumah, keluargaku sudah tidur semua. Aku melangkah ke arah kamar ku dan menghempaskan tubuhku di kasur yang lembut itu. "hah... Hari yang melelahkan." Gumamku sendiri. perjalanan yang menyita banyak waktu. Saat dari rumah Via, hingga mengantar Stella pulang. Aku tahu apa yang dikatakan oleh stella saat setelah dari taman. Dan aku hanya berpura tidak tahu agar tidak menambah masalah yang ada. Semua hanya terlintas cepat begitu saja di depanku. Aku juga mengingat saat sebelum aku pulang dari rumah Via. Ternyata, yang menyebabkan Via tidak bisa melihat disebabkan kecelakaan waktu itu. Yang membuat dia buta. Aku hanya bisa merasakan betapa sengsaranya dia. Tidak bisa menikmati lagi keindahan alam yang di ciptakan oleh tuhan. Aku merasa iba dengannya. Aku ingin membuat dia bahagia walau hanya sebentar saja.
Oh tuhan, apa yang harus aku lakukan dengan mereka?      
   


 To be continued...


     

Selasa, 27 Mei 2014

Sesuatu Yang Tak Wajar Datang Ke Arah Ku (Part 4)



Greenharp, Itulah nama kota ini. Green yang berarti "hijau", sedangkan Harp diambil dari nama seseorang, yaitu "Erwin Harpin". Dialah yang membuat motto 'Think Outside' dan menjadikan kota ini bersih dan asri. Sekaligus walikota pertama di Greenharp. Kota kecil yang aku tinggali dari kecil hingga dewasa. Terkenal dengan kehijauannya. Kota yang tenang dan damai. Walau populasinya sedikit, kota ini cukup terkenal di negeri ini. Rata-rata orang berpergian menggunakan sepeda, bahkan dengan berjalan kaki sekalipun. Jarang orang menggunakan kendaraan berasap, karena udara disini sangat sejuk dan bersih. Aku sudah cukup hafal daerah-daerah yang sepi hingga ramai. Salah satunya taman di balik bukit itu yang termasuk wisata cukup ramai apabila dihari libur. Masyarakat di kota ini juga ramah dan baik. Bahkan tidak ada satu berita yang mengenai tindak kriminal di kota ini. Sebab orang tua sudah mengajarkan kepada anak-anaknya sejak kecil untuk berbuat jujur. Pria disini sangat tampan-tampan, dan gadis-gadis disini juga sangat cantik dan manis. Termasuk gadis yang bernama Via. Gadis yang cantik dan menawan hatiku. Pertemuan yang singkat saat di sebuah toko lukis. 
 Aku sudah terpana melihat gadis yang bernama Via itu sejak pertama kali kulihat. Anggun dan cantik, tidak ada gadis yang bikin aku jatuh cinta selain dia. Entah kenapa, aku penasaran dengan Via hingga ku hampiri rumahnya bersama dengan Kian sahabatku. 

Aku masih terdiam dan terpana melihat dia membukakan pintu dengan senyuman yang menawan. "Kakak?!" Tanya Via. Aku masih tidak mampu untuk membuka mulutku. Aku mencoba untuk membukanya, "Aa... !" Jegleekk!!. Suaraku terputus dengan adanya suara pintu tertutup. Via menutup pintu dengan keras. "Aaa... ah!". Aku kecewa tidak bisa bicara  dengan lancar karena gadis itu membuatku jadi gugup. Disamping ku, Kian membisu seribu bahasa karena baru pertama kali melihat sosok malaikat yang cantik seperti Via. "Vil, itu gadis yang kamu sebut kah?. Cantik Vil, pantas kamu tertarik sama dia." Kata Kian sambil menyikutku. "Emm... iya. Itu yang namanya Via. udah tau kan?" Jawabku. "Iya, sudah tau. Tapi ada yang aneh dengan dia. Kenapa dia kok nggak merasa kita ada disini ya.". "Dia tuna netra. Jelas dia nggak bisa melihat kita.". "Oh... gitu rupanya" Kian pun baru menyadari Via sebenarnya tidak bisa melihat. "ya sudah. Aku coba mengetuk pintunya lagi". Aku pun mencoba untuk kedua kalinya. "Tok tok tok...!". Aku menunggu dan menunggu. Tak lama suara langkah kaki terdengar lagi dan menuju ke arah pintu. Aku dan Kian kembali gugup. Tapi pintu tidak juga terbuka. Tak lama kemudian terdengan suara dari dalam. "Maaf..., Siapa ya?"Tanya orang didalam. "Ma... maaf mengganggu. Saya mau mengembalikan pensil yang tertinggal di toko 'Drawing. Kalau nggak salah alamat orang yang membelinya disini." Jawabku dengan alasan yang jelas walau sedikit ada kebohongan soal alamat. "Emm, sebentar ya.". Entah kenapa orang yang dibalik pintu itu percaya dengan alasanku. Terdengar kembali suara kunci untuk membuka pintu. Kami semakin merasakan ketakutan jika yang membuka pintu adalah anggota keluarganya. Pintu perlahan terbuka. Dan ternyata... Via yang membukanya kembali "Maaf...,?"  Tanya Via. Aku pun cepat-cepat membuka mulut dan memulai percakapan dengan dia. "permisi, anda yang bernama Via." Kataku sambil gugup. "Iya, maaf. Kalau boleh tahu siapa ya?" Tanya Via. "Aku Villa dan yang bersamaku sekarang namanya Kian". "Salam kenal." Kata Kian sok akrab. "Iya salam kenal." Suara yang begitu indah kudengar. "Oh ya, ini pensilnya yang ketinggalan." Aku memberikan pensilnya ke tangan Via yang sudah siap menerimannya. "Iya terima kasih.". Aku pun tanpa sengaja menyentuh tangan Via yang begitu putih dan bersih. Tanpa aku sadari aku melihat papan nama di dinding luar rumah Via yang bernama "Dr. Wendic Braham". Aku pernah ingat nama itu. Nama yang tidak asing di telingaku. Aku berfikir sebentar untuk mengingat nama itu. Dan... Oh ya, beliau adalah tokoh besar yang ada di kota ini. Dia adalah dokter yang berjasa memberikan obat-obatan kepada ratusan rakyat miskin yang terkena penyakit kulit. Memberikan dengan sukarelawan. Tidak ada dokter yang baik hati seperti beliau yang membatu dengan cara tanpa dibayar. Aku sudah membaca artikel-artikel yang memuatnya saat diperpustakaan. Tapi sayangnya, beliau meninggal setahun yang lalu dikarenakan kecelakaan. Aku berfikir lagi, apakah Via adalah keluarga dari Dr. Wendic itu?.
Selang  beberapa menit, aku dikejutkan dengan suara asing yang berada agak jauh dibelakangku. "Ada apa kalian datang kerumah kami?" Tanyanya. Aku melihat kebelakang dan tersentak melihat kakaknya Via datang dengan membawa bungkusan di tangannya. "Kalian mau apa kesini?." Tanyanya lagi. "Emm..., kami mau mengembalikan pensil ini ke Via. Dan sekalian pengen tau rumah dokter Wendic. Kami mau buat refrensi mengenai beliau." Kataku dengan alasan agar bisa melihat Via lebih lama. "kalian dari mana?". "Kami dari universitas negeri di kota ini.". "Baiklah. Ini sudah mulai malam. sebaiknya kita masuk dulu dan bicara di dalam sambil makan malam. Akan ku beritahu tentang Dr. Wendic, Jarang kita mendapatkan tamu". "Emm... baiklah." Aku dan Kian menerima tawaran kakaknya Via agar bisa lebih mengetahui tentang Via.

"Silahkan, tak perlu sungkan. Aku tahu kalian orang baik-baik." Katanya sambil mempersilahkan kami masuk. Kami pun masuk kerumah. berjalan di lorong dan melihat sekitar. perabotan yang unik dan sangat artistik. Saat aku masuk ke ruangan yang cukup besar. Aku melihat banyak sekali rak dengan berisi buku-buku. Mulai dari buku panduan sampai buku ilmu kedokteran. "Silahkan tunggu sebentar. saya menyiapkan makan malam dahulu". "Iy... iya. maaf merepotkan". Kataku bersamaan dengan Kian. Rumahnya sangat sederhana. Dan udara sekitar sini sangat sejuk. ventilasi yang banyak sangat memudahkan sirkulasi udara menjadi stabil di dalam rumah ini. Aku melihat Via di depan perapian sedang mencoba melukis sesuatu. aku menghampirinya dan melihat gambar yang Via lukis. Entah mengapa aku merasa iba melihat dia. Menggambar dengan tangan yang putih dan indah, tapi tidak bisa melihat hasil yang dia lukiskan. Rasanya, aku ingin memberikan mataku ini untuk dia, agar dia bisa melihat semua hasil karyanya. Hasil dari lukisannya dia pajang di dinding ruangan kecil khusus buat lukisan. Aku pun mendekati Via. "Sedang melukis apa Via?" aku bertanya dengan gugup. "Ah... Aku mencoba melukis Danau". "Oh... danau yang dimana ya?". "Danau luas yang dibalik bukit." ."oh yang itu..." Aku pura-pura tidak tahu. "iya" dia jawab seadanya. Aku liat Via sangat hafal dengan tinta warna mana yang perlu di goreskan oleh penanya. Tapi gambarnya sangat kurang dibanding lukisan-lukisan yang dahulu.


"Ayo, makanan sudah siap." Kakak Via mencoba memanggil kita. Aku dan Kian segera menuju ke dapur. Via juga berhenti melukis dan bergegas pergi ke dapur. Kami pun duduk bersamaan. Meja makan penuh dengan makanan enak yang di hidangkan. Seperti omelette dan chicken rice. Makanan penutupnya ada puding dan ice cream. "Wow... makanannya enak semua ya." Kata ku bersamaan dengan Kian. "Iya, silahkan di makan ya." Kata Kakaknya Via dengan senyum. Kami makan dengan lahap, karena kita juga sedang kelaparan. Di depan saya, Via makan dengan tenang. Sangat menawan dia sedang makan. Wajahnya yang bundar dengan kepolosannya yang menentramkan hatiku. Saat Kian memasukan makanan ke dalam mulutnya, dia melihatku sedang manatap dan melamun Via yang ada didepannya. Dia segera menyikutku dan aku terkaget. Kakaknya Via tiba-tiba melihat kita berdua. Kami pun terdiam seolah tidak terjadi apa-apa. "Gimana masakannya. Enak?" Tanyanya kepada kita. "Ee... Enak. Makanan yang enak yang pernah aku makan." Kataku sambil tersenyum. "Syukurlah. Oh ya, kalian kesini mau minta refrensi mengenai dokter Wendic ya?". "Iya kak. Kami mau mencari tau tentang semuanya mengenai dokter Wendic". "Ok. Aku jelaskan sambil makan tidak apa ya?". "Tidak apa kak". Kami pun berbincang banyak mengenai dokter Wendic. Yang berasal dari kaum bangsawan dengan 2 bersaudara. Sambil makan, kami juga mendengarkan penjelasan dari kakaknya Via bahwa Dokter Wendic dapat gelar Sarjana pada umur 16 tahun. Dia orang yang sangat pintar dan sangat menghargai orang. Dia menikah pada umur 24 tahun dengan teman sekolahnya yang bernama Arrum di saat sekolah menengah. Setelah menikah 5 tahun kemudian Via lahir dengan sehat. Kami berdua tertegun melihat penjelasan dari kakaknya Via, walau sesekali mencuri waktu untuk bisa melihat Via. 

Tak terasa waktu sudah larut. Dua jam Aku dan Kian mendengarkan penjelasan dari kakaknya Via. Kami merasa cukup puas. Via dari tadi sudah kembali ke kamarnya. "Gimana, penjelasannya apa masih kurang?" Tanya Kakak Via sambil tersenyum. "Sudah cukup Kak. Kami merasa puas." Kata ku sambil tersenyum. Kami beranjak dari kursi kami. "Sudah mulai larut kak. terima kasih atas jamuan dan penjelasannya.". "Iya, nggak apa. Kami juga senang ada tamu, apalagi yang datang demi ilmu pengetahuan." Kata kakak Via sambil memuji kita. "Iya kak. Oh ya, apa kakak dan Via tinggal berdua saja?". "Emm... Iya. Kami tinggal berdua saja.". "Oh..., tadi pas saat terakhir dari penjelasan kakak. Dokter Wendic meninggal karena kecelakaan dalam perjalanan". "Iya.".Kian disampingku melihat dengan tertegun saat melihat Aku bertanya dengan Kakaknya Via. "Sebelum pulang kami mau bertanya, apa itu yang menyebabkan Via tidak bisa melihat?" Aku pun spontan dan menerka-nerka bertanya kepada kakaknya Via. Sebab di akhir percakapan tadi Via dalam perjalanan bersama orang tunya. Dan menyebutkan kalau yang selamat dari insiden itu hanya Via. 


Aku penasaran apa benar yang menyebabkan Via tidak bisa melihat atau Tuna Netra disebabkan insiden itu? atau karena disebabkan hal yang lain? 


        

To be Continued...