Senin, 22 Juli 2013

Sesuatu Yang Tak Wajar Datang Ke Arah Ku (part 3)




Terpaku dan terdiam lama dalam lamunan mimpi. Senyum yang membuatku merasa terbang melambung tinggi. Dan seakan-akan waktu berhenti berputar. "Ah, i.. iya. Sama-sama" Jawabku dengan gugup. Paras wajahnya sangat indah dilihat. Aku mengambil kesempatan dengan memandangnya lebih lama. Tak lama dia pun pergi meninggalkanku. Perlahan aku melihat keganjalan pada dirinya. Tanpa kusadari aku melihat ia berjalan dengan di bantu dengan sebuah tongkat. Aku terkaget tak terkira. Via dengan paras yang cantik dengan keadaan Tuna Netra. "Via, ayo kita pulang" terdengar kakaknya Via memanggil. "Iya kak." Jawabnya. Ia pun menghampiri kakaknya yang tak jauh darinya. Aku hanya berdiri dan terdiam saat dia pergi meninggalkan toko ini. Entah mengapa, air mataku meleleh tanpa aku sadari. Merasa iba atau kasihan kepadanya. "Villa, mengapa kamu diam saja. sudah dapat belum barang yang kamu mau beli?". Aku terkejut Kian dibelakangku memanggil. "Oh, maaf Kian. Aku sudah dapat." jawabku. "Loh, ada apa kamu menangis. Apa ada sesuatu?" Kian melihat air mataku. "Ah, tak apa kian." Aku pun tersadar dan cepat menghapus air mataku. "Bicaralah padaku kalau ada sesuatu yang membuatmu sedih". "Nggak apa. Ini hanya debu yang masuk ke mataku. jangan dipikirkan.". "Oh, ya sudahlah kalo begitu.". Aku pun melihat ke arah luar dan melihat Via sudah pergi jauh meninggalkan toko. "Emm... Sebentar ya Kian. Aku pergi dulu ada urusan. Ntar tolong kamu bayarkan dulu peralatanku." Aku memberikan peralatanku kepada Kian dan pergi. "Loh, kamu mau kemana Vil?" Tanyanya. "Ada urusan sebentar. Nanti kamu kerumah saja. Ok" Aku pun pergi meninggalkan toko. "Ok." Jawab Kian sambil melihatku keluar dari toko. Aku berlari mengejar Via dan kakaknya yang sedang berjalan. Aku mengendap-ngendap agar aku tidak dicurigai oleh orang disekitar. Aku sempat berfikir mengapa aku mengikutinya? Atau aku ingin mengetahui kehidupannya? Entahlah, Aku hanya penasaran dengan Via. 
Selang beberapa menit, aku sudah sampai di daerah yang menurutku lumayan jauh dari keramain kota. Via dan kakaknya menghampiri rumah yang ada di pinggir sungai. Akupun diam-diam bersembunyi dibalik semak-semak dekat rumah itu. Merekapun masuk ke dalam rumah yang sederhana. Dengan dinding cat berwarna putih dan campuran cokelat yang luas tanah pekarangannya cukup luas. Pintu rumah pun ditutup. 

Tak terasa waktu sudah menjelang sore hari. Via dan kakanya pun tak kunjung keluar lagi. Aku berfikir, rumah inilah yang mereka tinggali. Aku pun sudah cukup menyelidiki Via dan pergi. Aku tak tahu jalan pikiranku dengan apa yang aku lakukan hari ini. Diperjalanan, aku berjalan seakan tak tahu arah. Melamun dan bingung seperti kehilangan sesuatu yang berharga. Sesaat diriku sampai di rumah, "Vill, ini sudah jam berapa. kemana saja kamu?" Kian sedikit kesal kepadaku. "Ah..., Kian. Maaf, kamu sudah menunggu. Aku baru dari tempat teman sebentar." Aku kaget dan mencari alasan. "Ya sudah, tak apa. Aku kira kamu ada apa-apa saat pergi." Kian khawatir. "Ya, maafkan aku" Jawabku. "Ya sudah, itu barangmu sudah aku kasih ke ibumu". "Terima kasih Kian, ini aku bayar." Aku pun membuka dompetku dan menggantikan uang yang aku beli. "Ayo masuk, kita makan malam dulu." Kataku. "Tak usah lah Vill. Terlalu merepotkan." jawabnya. "Sudahlah. Jarang kamu makan malam dirumah ku kan.?". "Emm..., Iya sudah tak apa. Tapi habis selesai makan aku harus pulang. Aku nggak mau merepotkan keluargamu terus.". "Iya.". Kami pun masuk dan makan malam bersama. 
Langit sudah gelap. Cahaya rembulan menyinari kota. Angin malam berhembus dengan lembutnya. Tak terasa waktu terus berganti. Esoknya pun hari yang dinanti oleh para pekerja, yaitu hari libur nasional. Sama sepertiku yang menantikan hari dimana aku bisa beristirahat dengan tenang. Setelah menyelasaikan makan malam, Kian pun pamit untuk pulang. Aku kembali ke kamar dan beristirahat untuk mengembalikan tenagaku.

 
Pada hari libur ini, banyak orang-orang melakukan kegiatan bersama keluarga, teman, bahkan pergi dengan pasangan masing-masing. Menggunakan momen dengan baik disaat liburan, bahkan diriku. Sejak pagi tadi, aku dan Kian pergi jogging di taman balik bukit dekat rumahku. Kami rutin melakukannya setiap hari libur. Suasana disini cukup ramai di gunakan oleh masyarakat pada hari libur seperti ini. Ada yang menghabiskan waktu dengan memancing di danau, dan ada juga yang piknik di taman. "Hah..., Kian, Istirahat sebentar. Aku lelah." Pintaku sambil mencari posisi untuk duduk. "Ok, kita istirahat dulu." Jawabnya sambil memberikan aku air. "Thanks". Kami pun berisitirahat di bawah pohon cemara. Cuaca dihari ini sangat cerah. Kami sangat menikmati suasana disini. "Vill, nanti jadi kan kita melukis" Kata Kian memotong lamunan ku. "Emm..., jadi." jawabku. Aku tak sabar mencoba peralatan-peralatan baru yang aku beli tempo hari. Barang-barang yang akan ku gunakan untuk melukis. 

Setelah selesai jogging aku kembali ke rumah dan mengisi perutku untuk makan siang. Aku melihat adikku sudah berada di depan layar televisi. Adikku tidak luput dari acara televisi, karena hari libur ini lah banyak ditayangkan acara khusus untuk anak-anak. Acara yang paling di gemari adalah The Moomins. Akupun menyukai serial kartun The Moomins itu. Kartun yang mempunyai seni dan pengetahuan yang diberikan. Aku paling suka dengan karakter Snufkin. Seorang pria berbadan kurus dengan berpakaian serba hijau. Dia sangat penyendiri dan memiliki banyak pengagum di moominvalley. Moominvalley adalah tempat fiktif yang indah dengan lereng hijau, sungai, pohon buah-buahan, bunga, dan tempat untuk hidup tenang dan damai seperti dalam tradisi puisi pastoral, namun masih terancam oleh kekuatan alam seperti banjir dan gunung berapi. Snufkin hanya sering tinggal di Moominvalley saat musim semi dan musim panas. Dia selalu membawa harmonika dan mengembara di seluruh dunia dengan alasan tertentu, agar hidupnya tak dibuat rumit. Karakter yang menjiwai bagiku. Sedangkan adikku lebih menyukai karakter Moomintroll dalam serial The Moomins. Moomintroll merupakan berbentuk hewan kuda nil berwarna putih. Moomintroll tinggal di moominhouse bersama dengan keluarganya moominpappa dan mominmamma. Moomintroll sangat menyukai berpetualang. Teman terbaiknya yaitu Snufkin. Adikku menonton dengan tanpa kedip sekalipun, hingga camilannya tak dia sentuh. Aku hanya bisa tersenyum melihatnya. 



Selesai dari menonton televisi, aku menyiapkan peralatan melukisku. Saat aku mencoba mengambil pensil yang aku beli, tiba-tiba aku teringat dengan Via. Gadis pemalu yang menawan hati ku. tanpa aku sadari terdiam dan melamun cukup lama. Akupun bergegas memasukan pensil ku kedalam tas dan pergi ke bukit itu. Kian ternyata sudah dahulu sampai dan sudah memulai menggambar. "Maaf Kian, aku terlambat." Kataku sambil mendekan ke Kian. "Ya, tak apa. Aku juga barusan datang kok Vill" Jawab Kian. "Oh..., ya sudah aku buka peralatanku dulu". "Ok.". Aku pun membuka dan memulai melukis. Kian sedang melukis Gerombolan itik yang ada di danau. Sedangkan aku sedang berfikir untuk mencari tema dengan seleraku. Sesaat lamanya aku belum juga dapat mencari inspirasi yang ingin aku gambar. Aku mencoba menggoreskan pensil dan tangan ini sulit untuk digerakan. Aku hanya melihat pensil yang aku pegang. Aku pun bertanya pada diriku sendiri. Apa aku masih memikirkannya? Apa dia baik-baik saja?. "Mengapa aku mengkhawatirkannya?. Dia bukan siapa-siapaku. Kalau dia ku kenal mengapa juga harus khawatir". Tanpa aku sadari ternyata kian sedang memperhatikanku. "Villa. sejak kemarin aku lihat kamu sering melamun. Ada apa Vill?, bicaralah padaku" Kian  berusaha membantu. "Emm, tidak apa-apa Kian." Jawabku. "Bicaralah." katanya lagi. "Sudah... Aku tidak apa-apa.".Kian pun menyerah. Kami pun melanjutkan untuk menggambar. Saat dan sesaat aku sama sekali tidak konsentrasi menggambar. Entah mengapa hasrat pada diriku ingin bertemu dengan Via. Aku bingung kalau membicarakan hal ini kepada kian. Terus dan lama akhirnya pun aku berdiri dan bicara kepadanya. "Kian, temanin aku dulu sebentar bisa?" Kataku sambil membereskan peralatan melukisku. "Loh, ada apa. Mau kemana kita." jawabnya penuh penasaran. "Sudah, ikut saja. Nanti kamu tahu sendiri.". "Ok lah.". Kami pun bergegas membereskan peralatan dan pergi. Diperjalanan Kian bingung dan terus bertanya mau kemana. "Villa, sekarang kita mau kemana?". "Sudahlah Kian, Kamu nggak usah khawatir.". Kami menyusuri kota dan melewati toko-toko yang berada di pinggiran kota dengan menggunakan sepeda. Selang beberapa lama, kami pun sudah keluar dari alun-alun kota dan sudah sampai di daerah rumah Via. Aku mencoba mengingat rumah yang Via dan kakaknya tinggal. "Vill, sebentar. Sebenarnya kita mau menemui siapa sih." Tanya Kian sedikit penasaran. Akupun langsung mencoba menjelaskan mengapa aku harus membawa Kian tanpa memberitahukan kepadanya dahulu. "Maaf Kian, sebenarnya aku penasaran dengan gadis yang kita temui saat kita membeli peralatan di toko 'Drawing." Jawabku dengan tenang. "Yang mana?, Aku nggak lihat?" Kian penasaran. "Ya sudah, nanti kamu lihat saja sendiri." Jawabku. "Oh, pantas baru-baru ini kamu sering melamun." Kian menyelidiku. "Emm, Iya sih." Aku sedikit tersipu. "Tapi, bukan itu saja. Saat di toko kemarin, pensil miliknya dia ketinggalan. Jadi aku mau memberikan kepadanya.". Saat ditoko kemarin, dia memegang dua pensil, dan yang aku kembalikan hanya satu buah. Aku lupa memberikan satunya karena aku terpesona dengan dia. "Emm, ya sudah. Kita berikan saja. Tapi, apa tidak apa memberikan langsung kerumahnya?" Kian ragu dengan keluarganya. "Yah, mudahan saja.". Kamipun menemukan rumah Via, karena aku ingat di samping rumahnya terdapat sungai. Entah mengapa, jantung ku berdetak tidak biasanya. Begitu juga Kian, harap cemas sekaligus takut dengan mengira keluarga Via yang menyeramkan. Kami memarkirkan sepeda di halaman rumah via. Diam dan tenang saat mendekat ke pintu rumah Via. Menaiki anak tangga kayu teras dengan hati-hati. Aku mengetuk pintu dengan perlahan. "tok tok". Menunggu, menunggu, dan tak ada jawaban, aku mengetuk kedua kalinya dengan agak keras, "tok tok tok". Bunyi langkah kaki dari dalam perlahan mendekat kearah pintu. Kami pun agak gelisah. bunyi kunci pintu terdengar. Pintu pun perlahan terbuka sedikit-demi sedikit melebar. Aku terkaget bersamaan dengan Kian. Yang membuka pintu ternyata si Via, bukan dari keluarganya. "Selamat datang kakak." Kata Via dengan senyum yang menawan.
      

To be continued...




Minggu, 14 Juli 2013

Sesuatu Yang Tak Wajar Datang Ke Arah Ku (part 2)


Matahari sudah mulai bersinar dengan terangnya. Awan-awan pergi ditiup angin sehingga langit pun cerah. Burung-burung berkicau dengan merdu dan saling sahut-menyahut. Berlari kesana kemari bersama kawan-kawannya. Mereka membuat sarang di atas pohon cemara, dan ada juga mencari-cari biji-bijian dari pohon cemara itu. Bukan hanya burung-burung yang sedang bermain, tapi hewan lain pun ikut bermain. Sungguh suasana yg menyenangkan di waktu siang ini. Walau panas matahari menyengatku. Tak ada satupun melihat kegembiraan di hari ini kecuali diriku.
Aku tetap terpana melihat gadis itu yang hanya sekitar beberapa meter dari tempatku memandangnya. Seakan aku terhipnotis olehnya. Dia sangat anggun disaat menari dan bernyanyi. Pakaiannya sangat menawan, dengan memakai baju long dress dan rok dia sudah memiliki aura tersendiri. Mungkin dia belum menyadari diriku. Aku ingin melihatnya lebih dekat. Dan disaat aku melangkah, tiba-tiba terdengar suara memanggilnya. "Via, ayo kita pulang. Kakak belum menyiapkan makan malam nih". "Iya kak". Dia pun berhenti bernyanyi dan Orang yang memanggilnya menghampiri gadis itu. Dia pun pergi meninggal kan taman. Aku merasa sedikit kecewa. Tidak sempat melihat dia secara dekat. Wajah yang sangat kasual, mata yang bulat, dengan rambut yang lurus dan panjang. Begitu indah dipandang. "Via" akan ku ingat nama itu. Lama dalam lamunan mimpi.

Tak terasa waktu sudah menunjukan waktu jam 4 sore. Aku bergegas untuk menyelesaikan lukisan ku. Tapi sejauh ini aku tidak tenang dan tidak fokus untuk menggambar. Setiap tangan ini untuk menggoreskan pena diatas kertas putih, pikiran ku langsung tertuju pada gadis yang bernama Via itu. Dengan bersenandu nada yang dinyanyikan olehnya, membuatku terlena dan tidak berdaya."Hah, lebih baik aku pulang saja." Pinta ku sendiri. Ku bereskan peralatan menggambarku dan beranjak pergi dari bukit ini.

Waktu terus berlalu, dan malam pun tiba. Setelah selesai mandi, aku pergi menuju ke ruang makan untuk makan malam bersama. Adikku dan Ibuku kaget melihat aku diam. Biasanya saat makan malam aku lah yang paling banyak bicara. Saat makan aku pun masih saja melamun dan terpikir olehnya seaakan diriku tak bernyawa."Villa, tuh makanannya cepat di makan. Adikmu sudah selesai dari tadi." Ketus ibu ku. "Oh, iya bu." jawab ku. "Kamu lagi mikirin siapa Vil"."Nggak bu, cuma mikirin kesibukan hari ini saja kok bu."."Oh..., ya kalo kamu ada apa-apa bilang saja ke ibu"."Iya bu.". "Hah, lebih baik aku melupakannya." Gumam ku sendiri. Aku befikir hanya sekali itu saja mungkin aku bertemu dengan gadis itu.
Aku menyelesaikan makan ku dan bergegas ke kamar. Aku mengambil buku catatan dan membuat agenda untuk kegiatan esok hari. Aku senang membuat jadwal kegiatan, karena aku bisa disiplin dan lebih mandiri. Ayahku dulu telah mengajariku sejak kecil, agar hidup bisa digunakan sebaik mungkin. Karena hidup hanya sementara. Aku membuat jadwal hampir sama dengan jadwalku hari ini. Setelah aku membuat jadwal kegiatan besok, aku mencoba untuk tidur. Malam yang sunyi, dingin datang menghampiri. Ditemani oleh ringkikan suara serangga.

Esoknya pun aku melakukan kegiatan seperti halnya hari kemarin. Mengantarkan koran sebagai loper koran dan mengajar seperti halnya aku menjadi dosen di universitas negeri. Cuaca kurang bersahabat hari ini. Di penjuru seantro kota diguyuri oleh hujan yang diturunkan oleh Tuhan ke bumi. Banyak sebagian orang menganggap hujan adalah keberuntungan, dan ada juga sebagian orang hujan adalah membawa keburukan. Yah, tergantung penilain dari masing-masing pihak saja. Bagiku hujan adalah segalanya. Setelah mengajar aku mencoba ke perpustakaan kota. Terkadang setiap selesai mengajar, aku pergi menghabiskan waktu membaca buku di salah satu perpustakaan yang berada di kota yg luasnya hanya 3.280 he ini yang menurutku cukup lengkap. Aku biasanya mencari artikel mengenai teknik mesin, dan membaca artikel-artikel mengenai pelukis favorit ku, Pablo Picasso. Dia sosok yang aku idolakan dan sudah menghasilkan 20.000 karya dalam hidupnya. Pablo Picasso sering merubah gaya lukisannya, karena dia memiliki banyak teman. Gaya yang paling populer adalah gaya kubismenya, yang bisa mengejutkan dunia karena mengubah persepsi orang dalam dunia seni. Lukisan bukan hanya sebagai keindahan seni, melainkan sebagai penelitian dan eksperimen. Kata-kata itu lah yang selalu aku ingat dalam berkarya.

Hujan telah berhenti. Aku pun keluar dari perpustakaan dan pulang kerumah. Di perjalanan aku bertemu dengan teman baikku, Kiantira, panggil saja Kian. "Halo Vil, Gimana Kegiatan hari ini. Lancar saja?" Kian Menyapa ku. "Yah, lancar saja. Kamu mau jemput adikmu kah?"."Iya nih, Kegiatan sehari-hari, haha." Canda Kian. "Kapan kita melukis lagi?"."Emm..., Tunggu hari libur saja ya"."Ok"."Eh, besok bisa temenin aku beli peralatan melukis?. Kertas gambar ku sudah mulai habis!"."Bisa, tapi jam kosong saja ya."."Ok"."Ya sudah, aku mau jemput dulu adikku, sampai nanti ya."."Ya, hati-hati". Dia pergi dan aku hanya melihat dia dari belakang punggungnya. Dia adalah teman sekaligus saudara bagiku. Sama-sama menyukai seni melukis. Orang yang ramah, dermawan, dan penuh tanggung jawab. Hanya lebih muda setahun dariku. Sejak kecil aku sering bermain dengannya. Walau sekarang rumahnya tidak lagi berdekatan bukan berarti kami memutuskan tali persaudaraan. Sekarang dia bekerja di pabrik plastik yang ada di kota ini. Aku teringat saat diriku masih kecil. Aku sering di ganggu dan di ejek  teman-temanku karena aku pendiam dan bersikap acuh apabila diajak bicara. Dia lah yang selalu menolong dan membela aku. Memang, saat aku kecil aku orangnya pemalu dan jarang mau berbicara kepada orang. Tapi Kian berusaha keras agar aku bisa berkomunikasi dengan orang disekitar. Sedikit demi sedikit aku bisa berkomunikasi dengan baik. Dia adalah teman sekaligus sahabat pertama bagiku. Sahabat yang takkan hilang dalam hidupku.

Tiba dirumah tepat jam 3 siang. Sesampainya dirumah aku mencoba untuk mengistirahatkan tubuhku dan berbaring di kasur. Hujan telah berhenti. Sinar matahari menyinari bumi. Selang beberapa menit aku bangkit dan mengambil peralatan melukisku. Aku pergi ke atas bukit itu lagi untuk melukis karena sore hari suasananya sangat bagus untuk berinspirasi apalagi setelah hujan. Aku menggambar dengan nikmat, tenang, dan penuh dengan ide. Tak terasa matahari mulai terbenam. Aku pun menyelesaikan lukisanku. Lukisan seorang gadis yang tengah menari ditaman.

Aku pulang kerumah saat matahari tenggelam. "Aku pulang"."Selamat datang." Jawab Ibu ku. "Ibu, sudah ada kah pesanan ku?"."Pesananmu? oh ya, sudah ibu belikan". Pagi hari aku menitip kepada Ibu untuk membelikan sepasang sandal. Sandalku putus saat ke bukit karena terhalang akar pohon, jadi selama ini aku berpergian menggunakan sepatu.
Setelah makan aku menonton televisi bersama adikku Gimi. Walau keluargaku sederhana, kami mempunyai hiburan sendiri, televisi 19" yang selalu menemani keluarga. Siaran yang paling aku suka di saat jam sekarang yaitu menonton tayangan iklan komedi. Tayangan yang hanya sekedar menghibur pemirsa dirumah. "Hahahaha...!" Adikku tertawa melihat iklan itu.
Tak terasa waktu sudah larut malam. Aku bergegas kembali ke kamarku. Membuat tambahan jadwal untuk kegiatan besok, yaitu membeli alat melukisku. Setelah itu aku bersiap untuk tidur. Sauasan tenang di lamunkan oleh keheningan malam. Cahaya bulan masuk dibalik tirai jendelaku. Ku harap esok hari yang lebih baik.

Pagi yang tenang dan seperti biasanya, aku mengantar koran di pagi harinya. Aku tidak ada jadwal mengajar pada pagi hari melainkan siang hari. Setelah mengantar berita kepada orang-orang, aku langsung saja ke kampus walau pelajar pagi tak ada. Apabila tidak ada pelajaran mengajar, aku biasanya mampir ke perpustakaan dan menghabiskan waktuku disana. Aku pun duduk dan membaca dengan tenang. Tidak lama aku membaca, tiba-tiba ada suara memanggil dari arah depanku. "sstt, pak Villa.". Aku melihat ke arah depan dan ternyata dosen Stella memanggilku. "Ada apa stell?" Jawabku. "Lagi baca buku juga ya pak"."Iya, sambil menunggu pelajaranku masuk, Ibu nggak ngajar kah?"."Aku sudah selesai pak, aku mau rehat sebentar di sini. Bapak lanjut saja lagi."."Oh..., ya bu.". Dosen Stella mengajar sastra di universitas ini. Orangnya sangat fleksibel dan ramah. Dia cantik dan manis. Banyak yang mau menikahinya, baginya belum ada yang sesuai untuk kehidupan kedepannya. tapi bagiku, dia hanyalah teman mengajar. Jam masuk pelajaran pun sudah dimulai. Aku pun bergegas masuk ke kelas.

Masa muda memanglah panjang, tapi bagiku lebih baik digunakan sebaik-baiknya. Hidup berfoya-foya sangat merugikan. Untukku ilmu dicari karena ilmu tidak akan pernah habis. Banyak pengangguran dan tuna wisma karena kurangnya pendidikan dan lapangan pekerjaan. Aku beruntung mempunyai pekerjaan walau hasil mencukupi. Maka pekerjaan digunakan semaksimal mungkin.
Setelah dari kampus aku menuju ke pabrik plastik untuk bertemu sahabatku yang tak jauh dari kampusku. saat di depan pabrik, aku di kagetkan oleh security yang menjaga disini. "Halo Vill, bagaimana kabarmu?" Tanya pak security. "Baik pak, Bapak sendiri bagaimana kabarnya?". "Baik juga Vill, Pasti sedang menunggu Kian?". "Iya pak, Sudah ada janji soalnya. Jadi ya aku tunggu saja dia pulang kerja". "Oh, duduk sini dulu Vil." Sambil menawarkan bangku untukku. "Ya pak." Jawabku. Pak Loki namanya yang bertugas menjadi security disini. Dia sudah mengenalku lebih lama sejak Kian bekerja disini selama 4 tahun. "Mau kopi Vil?" Tanyanya sambil menyuguhkan secangkir kopi. "Eh, mau pak. Kebetulan cuaca agak mendung dan dingin. lebih nyaman ditemanin secangkir kopi". "Bagaimana kabar ibumu dirumah, apa baik-baik saja?" Tanyanya lagi. "Baik saja pak.". Aku pun memulai percakapan dengan dia. Banyak yang diceritakan, seperti halnya dia sudah mempunyai anak pertama sejak 12 tahun menikah. Aku mengucapkan selamat dan dia senang mendengarnya. Keluarganya banyak berkunjung setelah istrinya melahirkan. Aku mengucapkan selamat dan dia senang mendengarnya. Aku juga minta maaf karena tidak mampir melihat anaknya. Pak Loki juga mengeritik pemerintahan disini karena kurangnya bersosialisasi kepada warganya.

Waktu terus berlalu. Aku pun menikmati percakapan ini. Tiba-tiba Kian memanggilku dari kejauhan. "Vil, aku sudah pulang. Jadikah beli peralatannya?" Tanyanya sambil sedikit berteriak. "Iya..., Aku menunggumu dari tadi." Jawabku. "Ok ya pak. Aku pergi dulu sama Kian." Kataku. "Iya Vil. Kapan-kapan kita ngobrol lagi ya." Balasnya. "Ok, kalau ada waktu ntar aku sama Kian kerumah bapak lihat anak bapak.". "Iya, jangan sungkan kerumah." Jawabnya. "Pak, aku pulang dulu." Kata Kian kepada Pak Loki. Saat meninggalkan pabrik Kian bertanya sama aku. "Vil, sudah bawa uang nggak. Ntar ketinggalan lagi kaya tempo hari.". "Sudah. Aku pasti ceklah di sakuku". Aku pernah mengalami saat membeli sepatu uangku ketinggalan. Untung Kian ada membawa uang, jadi aku pinjam uangnya untuk membayar sepatu. Tak lama kemudian kami sampai di toko yang menjual peralatan melukis, toko 'Drawing namanya. Aku masuk dahulu dan dilanjuti oleh Kian. "Nah, kamu cari sudah keperluanmu. Aku akan mencari disana." Kata Kian sambil melihat-lihat sekitar. Pelanggannya cukup ramai sebab barang disini lagi turun harga walau hanya sekedar peralatan melukis. Aku mencari satu demi satu barang yang aku perlukan. Ada rak kecil yang menyimpan kuas dan pen dan ada juga rak besar yang menyimpan segalanya yang besar dalam peralatan lukisan. Aku menghampiri rak yang kecil. Aku ingin membeli beberapa pensil buat sketsa gambar ku. Simpel tapi Efisien. Di saat aku berjalan, aku tidak melihat bahwa ada orang didepan yang sedang berdiri memegang pensil dan menabraknya. Pensilnya pun terjatuh. "Ah, maaf aku tidak sengaja" Kataku sambil meminta maaf. Aku pun bergegas mengambil pensil yang terjatuh itu. "Tidak apa-apa" Kata orang yang aku tabrak. Aku pun menyerahkan pensil itu kepada orangnya. "Ini pensilmu" Kataku. Aku pun terkaget saat aku menyerahkan pensil itu kepadanya. Wajah yang aku kenal dan tak asing lagi bagiku. Jantungku pun berdetak dengan kencang, seakan-akan aku melihat badai yang menimpa penjuru kota ini. bibirku terkunci saat mau berkata, "Via". "Iya, Terima kasih!" Lirihnya sambil tersenyum.


To be continued...

   


Jumat, 12 Juli 2013

Sesuatu Yang Tak Wajar Datang Ke Arah Ku (part 1)

       Semua berawal dari perkenalan saat aku mendekati sebuah rak berisi ratusan pensil yang aku hampiri di toko 'Drawing. Toko yang menyimpan ragam jenis bahan-bahan untuk menggambar. Toko yang menurut ku lengkap dari semua toko yang aku kunjungi di kota ini. Oh ya, nama ku Villa dengan dua bersaudara. umur ku 24 tahun. Aku yang tertua dan adik ku baru umur 10 tahun, Gimi panggilannya. Gimi adik ku sekolah tak jauh dari rumah kami. Dia anak yang pintar dalam mencari solusi. Kami tinggal di pinggir kota dengan rumah yang sangat sederhana. Rumah kayu dengan warna kuning pucat yang selalu kita tempati bersama. Ibuku lah satu-satunya keluargaku yang paling berharga dan masih bertahan di rumah ini. Semua takkan pernah terjadi tanpa adanya dukungan dari ibu ku.

Di sela mentari pagi, aku bergegas untuk bangun dan siap bekerja  mengantar kabar-kabar terbaru dari dunia. Dengan ditemani sepeda usang yang selalu menemani ku di kala aku bekerja. "Ibu, aku berangkat dulu..." Kata ku kepada ibu. "Ya, hati-hati di jalan." jawab ibu. Akulah penopang hidup untuk menafkahi keluargaku sejak ayahku meninggal dikarenakan sakit jantung. Waktu pun sudah beranjak jam 5 pagi. Aku pun bergegas pergi. Dengan menyusuri alun-alun kota dan di sinari mentari pagi. Udaranya begitu dingin sehingga aku memakai jaket tebal bekas ayahku. 

Aku pun sampai dengan tepat waktu. "pagi vil" sapa pak dira marketing ditempat ku kerja. "Pagi pak" jawab ku. Aku pun bergegas mengambil beberapa tumpukan kertas yang dipenuhi dengan tulisan dan gambar. Aku keluar mengambil sepeda dan mengayuhnya kembali. Satu demi satu rumah aku hampiri. Dengan keringat yang penuh makna. Walau aku bekerja sebagai loper koran, aku ikhlas dan bangga dapat menginfokan berita-kepada masyarakat. 

Tak terasa matahari sudah terlihat tinggi di atas langit. Akupun menyelesaikan tugas ku sebagai pengantar koran. Setelah bekerja menjadi pengantar koran, aku harus bekerja lagi menjadi dosen di salah satu universitas negeri di kota ini. Memang, hidup tak semudah membalikan telapak tangan. Hidup penuh dengan perjuangan. Aku mengambil kata-kata dari Gen. Collin Powell, "Tak ada rahasia untuk menggapai sukses dan itu dapat terjadi karena persiapan, kerja keras, dan mau belajar dari kesalahan." Menjadi dosen juga menyenangkan. Bisa berinteraksi dengan mahasiswa-mahasiswa yang ingin memperluas wawasan ilmunya. Disini aku mengajar teknik mesin, karena aku lulusan STM mesin dan mengambil kuliah jurusan mesin. Beruntung aku mendapatkan beasiswa sewaktu sekolah, sehingga dana kuliah bisa ringan. Waktu demi waktu terlewati. Tak terasa waktu mengajar selesai. Aku pun memberikan mereka tugas yang ringan kepada mereka, yaitu membuat gambar isometri dari gambar orthogonal dari kertas yang sudah dibagi tadi dan akan dikumpulkan tiga hari lagi. Aku senang mahasiswa disini sangat penuh dengan tanggung jawab. 

waktu menunjukan jam 1 siang. Aku kembali dengan lemas tak berdaya. Perut terasa kosong dan tak bertenaga. "Aku pulang, Ibu sudah masak apa belum?" pinta ku. "Sudah, makan dulu sana. Ada sayur bening sama tempe penyet kesukaanmu", jawab Ibu. Aku bergegas ke dapur. "Ibu tau saja makanan kesukaanku", Kata ku sambil tersenyum. "Halo kak, gimana pekerjaannya" Gimi berkata kepada ku yang sedang makan. "Seperti biasa Gim. Gimana sekolahmu, lancar aja kan?", Jawab ku. "Gurunya kak, aku menjawab ke pertanyaannya dengan benar semua, eh... malah aku disuruh memperbaiki!", dengan nada kesal Gimi bicara. "Loh, kenapa lagi gurumu.". "Katanya ya aku nggak beri solusinya. Tapi aku sudah mengerjakan di kepala ku semua.". "Kamu sudah bilang ke gurunya" . "Sudah kak, tapi dia nggak percaya. karena dia nggak bisa mengerjakaan di kepalanya. katanya aku curang" Berkata Gimi dengan nada kesal. "Bagaimana gurumu nggak meluluskanmu. Karena kau lebih pintar?" kata ku. "Aku juga sudah bilang". "Hufft... sudah kamu tulis lisan aja. gurumu takut tersaingi olehmu mungkin" kata ku sambil mengelus kepala Gimi. "Ya kak", jawab Gimi. 

Selesai makan aku bergegas menyiapkan peralatan melukisku. Melukis adalah salah satu hobby kesukaan ku. penuh dengan artistik, ketenangan, kreatifan, dan keindahan. Aku sering melukis di bukit hutan seberang rumah. Sangat tenang dan dapat menyalurkan ide-ide keanekaragaman dalam melukis. Hutan yang luas sekitar 680 he ini bukan cuma sekumpulan pohon dan tumbuhan saja. di balik bukit itu terdapat danau yang cukup luas, pegununggan dan taman yang begitu indah. Dengan ditumbuhi berbagai macam bunga, seperti bunga tulip, mawar, melati, maupun anggrek. Walau jarang dikunjungi orang, tempat ini cukup bersih dan asri. Persiapan ku sudah selesai, dan aku pergi menuju bukit itu. "Ibu, aku ke bukit dulu ya.", kata ku. "Iya, jangan malam-malam pulangnya", Jawab ibu. "Iya". Aku pun pergi dan melihat cuaca yang tidak begitu panas. Yah, walaupun agak mendung tapi tidak dapat menghentikan ku untuk melukis. Saat sampai di atas bukit, aku memilih tempat yang enak dalam menggambil sudut melukis ku. "emmm... nah, di bawah pohon itu kayanya bagus untuk melukis." Pinta ku sendiri. Aku bergerak menuju pohon itu. Ku buka peralatan melukis ku dan aku mulai mencari inspirasi dalam karya menggambar. Saat dan sesaat. Aku mendengar suara perempuan yang asing di telinga ku yang sedang bernyanyi "na na na,,, ". Aku mencari-cari dimana suara itu berasal. Memandang dengan seksama daerah disekitar aku melukis. Tiba-tiba akupun terdiam dan terhenyak. Melihat seorang gadis paruh baya nan cantik dan Indah sedang bernyanyi di pinggir danau dengan suara yang begitu indah. Aku pun tak bisa berkata-kata dengan melihat ke elokannya. Diam dan diam, dunia se akan berhenti berputar. suara hembusan angin begitu lembut mnyelimuti ku. Apakah Gadis ini adalah anugerah Tuhan yang sempurna sehingga aku terpaku dan terpana melihatnya?


To be continued...